IAWNews.com – Persidangan gugatan perdata antara PT. Bagus Jaya Abadi (BJA) melawan Samuel Hamonangan Sitorus dan kawan-kawan yang kini tengah berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Sorong, Papua Barat Daya, menuai sorotan tajam. Kuasa hukum para tergugat mendesak majelis hakim untuk menolak dan atau menghentikan jalannya perkara yang dinilai cacat secara hukum dan administrasi.
Dalam sidang yang berlangsung pada 30 Juni 2025 lalu, kuasa hukum tergugat, Advokat Simon Maurits Soren, S.H., M.H., secara tegas menyampaikan eksepsi dan jawaban atas gugatan, lengkap dengan gugatan rekonvensi. Ia menilai gugatan yang diajukan PT. BJA bukan saja tidak memenuhi syarat formil, tetapi juga sarat dengan pelanggaran hukum, bahkan berpotensi menyesatkan pengadilan.
Gugatan yang diajukan oleh PT. BJA atas kepemilikan lahan di kawasan Jalan Patimura, Kelurahan Suprauw, Distrik Maladum Mes, disebut-sebut sebagai “gugatan tipu-tipu ala Abunawas” oleh berbagai kalangan, lantaran dinilai tak berdasar hukum dan mencerminkan praktik manipulatif dalam konflik lahan.
Menurut Simon Maurits Soren, ada tiga alasan mendasar mengapa gugatan PT. BJA patut ditolak :
- Penggugat Tidak Memiliki Legal Standing
Berdasarkan dokumen Surat Pelepasan Hak Milik Atas Tanah Adat No. 54/02/SKET/TA/LMA-MA/III/2003, diketahui tanah objek sengketa telah sah dimiliki oleh Drs. Anwar Rachman dan selanjutnya dijual kepada Labora Sitorus pada 2009. Keluarga Labora Sitorus masih menguasai tanah tersebut secara fisik hingga hari ini.
Sebaliknya, dasar gugatan PT. BJA menggunakan surat pelepasan hak tanah adat tahun 2013 atas nama Paulus George Hung—yang saat itu masih berstatus Warga Negara Asing asal Malaysia. Pelepasan tanah adat kepada WNA jelas bertentangan dengan Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang menyatakan hanya WNI yang boleh memiliki hak milik atas tanah.
Lebih jauh lagi, surat pelepasan tanah adat tahun 2013 itu telah dicabut secara resmi oleh Willem RN. Buratehi/Bewela pada 14 Agustus 2014 dan dipertegas kembali lewat pernyataan tertulis tanggal 9 Juni 2025. Dengan demikian, landasan hukum PT. BJA untuk menggugat menjadi gugur secara hukum.
2. Gugatan Obscuur Libel (Tidak Jelas)
Gugatan PT. BJA dinilai kabur karena menyebutkan berbagai luasan tanah tanpa konsistensi yang jelas. Dalam dokumen gugatan, disebutkan luasan tanah 82.650 meter persegi, 6.600 meter persegi, hingga 12 hektar berdasarkan izin reklamasi. Ketidaksesuaian antara dokumen hukum dan titik koordinat lahan membuat substansi gugatan menjadi multitafsir dan tidak memenuhi ketentuan hukum acara perdata yang mengharuskan uraian objek sengketa secara spesifik dan jelas.
3. Error in Persona (Kurang Pihak)
PT. BJA dianggap tidak menyertakan sejumlah pihak penting dalam gugatan. Di antaranya adalah:
a. Jan PJ Buratehi/Bewela dan Willem RN Buratehi/Bewela, yang terlibat langsung dalam penerbitan dan pencabutan surat pelepasan hak atas tanah;
b. Walikota Sorong yang mengeluarkan izin reklamasi dan SK pemanfaatan lahan;
c. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Sorong, yang belum menyelesaikan proses sertifikasi tanah milik Labora Sitorus.
Ketidakhadiran pihak-pihak tersebut dalam gugatan membuat perkara ini cacat formil, karena tidak memberikan ruang keadilan menyeluruh bagi seluruh pihak yang berkepentingan atas objek sengketa.
“Para tergugat hanya meminta perlindungan hukum atas hak-haknya, mereka sama sekali tidak bermaksud merugikan penggugat atau pihak manapun”, tegas Simon Maurits Soren.
Harapan juga disampaikan oleh Simon Maurits Soren agar majelis hakim PN Sorong dapat mengabulkan eksepsi yang telah diajukan serta menolak gugatan PT. BJA melalui putusan sela. “Perkara ini menjadi ujian penting bagi komitmen PN Sorong dalam menegakkan hukum secara adil dan tidak berpihak pada kekuatan modal atau manipulasi administrative”, ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, persidangan masih berlangsung dengan agenda pembuktian dan pemeriksaan saksi. Majelis hakim diharapkan dapat mengambil keputusan bijak berdasarkan fakta hukum dan prinsip keadilan substantif. (tim/red)