Categories Hukum & Kriminal,

Restorative Justice Pasca P-21 di Blora Dinilai Janggal, PPWI Desak Kapolres Dicopot

IAWNews.com – Kasus kriminalisasi tiga wartawan di Blora kembali menjadi sorotan tajam. Salah satu korban, Siyanti, anggota Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Blora, mengaku telah dilepaskan Polres Blora menjelang pelimpahan berkas dan tersangka ke Kejaksaan Negeri Blora. Padahal, berkas perkara tersebut sebelumnya telah dinyatakan lengkap atau P-21 oleh Kejaksaan.

Langkah restorative justice (RJ) yang diambil Polres Blora setelah status P-21 ini memunculkan pertanyaan besar mengenai kepatuhan aparat terhadap hukum acara pidana. Umumnya, setelah P-21, kewenangan penuh berada di tangan Kejaksaan.

Menanggapi kabar pelepasan anggotanya itu, Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, menyebut langkah Polres Blora sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan. Ia bahkan menyebut institusi kepolisian saat ini “sudah keropos dari atap hingga lantai.”

“Kita tidak lagi bicara satu-dua oknum polisi. Struktur besar di tubuh Polri sudah rapuh. Ada polisi baik, tapi jumlahnya kecil dan umumnya tersingkir dari jabatan strategis”, ujar Wilson Lalengke, Minggu (14/9/2025).

Ditegaskan oleh Wilson Lalengke bahwa sejak awal Polres Blora sudah menyadari kesalahan prosedural dalam penangkapan wartawan pada Mei 2025. Dalam jawaban praperadilan yang diajukan PPWI, Polres tidak membantah pelanggaran prosedur, melainkan hanya berargumen soal kompetensi relatif pengadilan.

“Permohonan Prapid PPWI dianggap salah tempat karena diajukan di PN Jakarta Selatan, bukan PN Blora. Padahal, Tergugat I adalah Kapolri, sehingga PN Jakarta Selatan jelas berwenang”, jelas Wilson Lalengke.

PPWI sebelumnya mengajukan praperadilan, namun ditolak hakim tunggal dengan alasan kompetensi relatif. Wilson menduga hakim enggan bersikap objektif karena khawatir berseberangan dengan Kapolri.

“Hakim-hakim biasanya takut, karena Kapolri bisa saja membuka kasus lama mereka. Jadi penegakan hukum sering kali tidak berjalan sesuai koridor, sebab ada simbiosis mutualisme antara Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan”, ungkap alumni Lemhannas RI ini.

Atas berbagai kejanggalan ini, Wilson Lalengke mendesak pimpinan Polri segera mencopot Kapolres Blora, AKBP Wawan Andi Susanto. “Negara dibangun untuk melindungi warga dari perlakuan sewenang-wenang. Tapi kenyataannya, justru aparat melanggar hukum. Kapolres Blora harus segera dicopot”, tegasnya.

Wilson Lalengke juga menyinggung dugaan keterlibatan mafia BBM dalam kasus ini. Ia menyebut ada oknum TNI bernama Rico yang diduga bermain dalam bisnis BBM ilegal dan awalnya meminta Polres Blora menjerat wartawan dengan dalih pemerasan.

“Polres mudah membalikkan penyuapan menjadi pemerasan. Tapi sangat mungkin Rico ingkar janji, apalagi dia juga diproses di institusi TNI. Akhirnya, Polres memilih jalan pintas: melepas ketiga wartawan lewat RJ akal-akalan”, ujar Wilson Lalengke.

Kasus ini membuka kembali perdebatan soal praktik restorative justice yang kerap disalahgunakan aparat. Pertanyaan hukum mendasarnya: setelah P-21, apakah Polres masih berwenang menghentikan proses pidana ?. (tim/red)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like