Categories Budaya

Laporan Polisi oleh Almarhum, Kisah Absurd dari Palangka Raya

IAWNews.com – Di ranah seni dan budaya, kisah-kisah tentang masyarakat kerap menjadi cermin yang memantulkan wajah bangsa. Ada yang memancarkan optimisme, namun ada pula cerita getir yang menggugah kesadaran. Salah satunya datang dari Palangka Raya, sebuah pengalaman nyata yang terasa seperti fragmen teater absurd, ketika seorang warga mendapati bahwa nama pelapor kasus terhadap dirinya adalah seseorang yang sudah meninggal dunia.

Peristiwa ini dialami Noti Andy, seorang warga sekaligus Ketua PPWI Kalimantan Tengah. Ia menerima surat pemanggilan dari Polsek Pahandut terkait klarifikasi hutang, sebuah masalah perdata yang seharusnya jauh dari ranah pidana. Namun yang membuatnya tercekat bukan isi panggilan itu, melainkan nama pelapor: Rada, sosok yang telah meninggal dunia.

Dalam kacamata seni, fenomena seperti ini mengingatkan pada satire-satire sosial yang memanfaatkan absurditas untuk memantik kesadaran publik. Namun yang dialami Noti bukan karya fiksi, ia kenyataan sehari-hari yang menohok.

Mengikuti panggilan hukum, Noti datang dengan seragam PPWI, ditemani pengacara Dr. Ari Yunus dan rekan-rekan. Namun drama berikutnya pun terbuka: Kapolsek yang hendak ditemui tidak pernah ada di kantor.

Hari pertama menunggu tiga jam.
Hari kedua menunggu dua jam.
Hari ketiga, kembali nihil.

Dalam narasi budaya birokrasi Indonesia, adegan “menunggu” menjadi simbol ketidakpastian dan ketidakberdayaan warga di hadapan aparat. Noti bahkan membatalkan tiket pesawat ke Jakarta demi memenuhi panggilan tersebut suatu bentuk kepatuhan hukum yang justru dibalas dengan penundaan tanpa penjelasan.

Kekesalan memuncak ketika Noti menyadari kejanggalan terbesar: laporan dibuat oleh orang mati. Ia melaporkan itu kepada Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, yang kemudian langsung menghubungi pihak Polsek.

Percakapan berlangsung panas, sebuah konfrontasi antara warga yang menuntut kepastian hukum dan aparat yang tidak mampu memberikan jawaban logis. Pada akhirnya, Kapolsek hanya dapat meminta maaf, baik kepada Wilson maupun kepada Noti secara langsung melalui telepon.

Permintaan maaf itu menutup kasus, tetapi tidak menutup luka.

Dalam konteks budaya, pengalaman seperti ini menjadi cermin bahwa tata nilai yang dipegang masyarakat, yaitu kejujuran, keadilan, dan keterbukaan belum sepenuhnya diemban oleh aparat penegak hukum.

Bagaimana mungkin sistem kepolisian menerima laporan dari seseorang yang telah tiada?
Bagaimana mungkin warga yang telah memenuhi panggilan tiga hari berturut-turut hanya mendapat jawaban permintaan maaf?

Adegan-adegan ini terasa seperti menonton film horor sosial, di mana logika dan kepastian hukum kabur di balik kekeliruan yang seharusnya tidak mungkin terjadi.

Pengalaman ini memunculkan usulan perlunya kontrol yang lebih kuat, sanksi bagi aparat lalai, hingga penguatan fungsi pengawasan lintas lembaga. Noti juga menekankan pentingnya melibatkan tokoh adat, agama, dan masyarakat dalam pengawasan hukum, sebuah gagasan yang sejalan dengan nilai budaya Indonesia yang menempatkan musyawarah dan keterbukaan sebagai fondasi.

Bagi Noti, pengalaman ini bukan sekadar laporan salah alamat. Ini adalah pelajaran pahit bahwa hukum bisa direkayasa dan meninggalkan masyarakat dalam posisi rentan. Namun bagi ruang seni dan budaya, kisah ini menjadi bahan refleksi tentang bagaimana masyarakat dan aparat berinteraksi, bagaimana kekuasaan dapat melenceng, dan bagaimana suara individu tetap harus diperjuangkan. (tim/red)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like