IAWNews.com – Kasus penangkapan tiga wartawan yang menguak dugaan praktik mafia BBM subsidi di Blora, Jawa Tengah, kini resmi bergulir ke jalur hukum. Gugatan praperadilan atas dugaan kriminalisasi terhadap ketiga jurnalis tersebut telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 70/Pid.Pra/2025/PN.Jkt.Sel.
Gugatan ini diajukan oleh Siyanti dan Febrianto Adi Prayitno, didampingi tim kuasa hukum dari Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI). Sidang perdana dijadwalkan berlangsung pada Rabu, 18 Juni 2025 pukul 09.00 WIB di ruang sidang PN Jakarta Selatan.
Yang menarik perhatian, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan jajarannya tercantum sebagai Termohon dalam perkara ini. Mereka dianggap bertanggung jawab atas penangkapan para wartawan yang disebut melanggar prosedur hukum dan mengancam kebebasan pers.
Tim hukum PPWI yang akan menghadiri sidang terdiri dari sejumlah nama advokat seperti Dolfie Rompas, Ujang Kosasih, Anugrah Prima, Yusuf Saefullah, dan lainnya. Ketua Umum PPWI Wilson Lalengke menyatakan gugatan ini bukan sekadar upaya hukum, tetapi langkah penting untuk membongkar dugaan kolusi aparat dengan jaringan mafia BBM ilegal.
“Kami mendesak Kapolri hadir langsung. Ini soal kehormatan institusi Polri dan hak masyarakat untuk mendapat informasi”, kata Wilson Palengke dalam keterangannya kepada media pada Minggu (15/06/2025)
Lebih lanjut, Wilson Lalengke juga menyoroti dugaan keterlibatan oknum TNI aktif dalam kasus ini. Ia menyebut adanya anggota TNI bernama Rico yang terlibat dalam transaksi mencurigakan, termasuk menyuap wartawan sebesar Rp4 juta di wilayah Blora.
Menurut Wilson Lalengke, tindakan tegas dari Panglima TNI diperlukan untuk menunjukkan komitmen institusi terhadap supremasi hukum.
“Siapapun yang terlibat, baik dari Polri maupun TNI, harus diproses tanpa pandang bulu. Negara tak boleh diam saat hukum dilanggar oleh aparatnya sendiri”, tegas Wilson Lalengke yang juga alumni Lemhannas dan lulusan Etika Global dari Universitas Birmingham, Inggris.
PPWI menyerukan agar masyarakat sipil, komunitas pers, serta lembaga pengawas turut mengawal jalannya proses praperadilan ini. Wilson mengingatkan bahwa kepercayaan publik terhadap institusi negara bisa hancur bila aparat justru menjadi bagian dari kejahatan yang seharusnya mereka tindak.
“Ketika aparat sendiri melanggar hukum, maka sanksinya harus dua kali lebih berat. Proses ini akan jadi ujian besar bagi komitmen negara terhadap keadilan dan kebebasan pers”, tutup Wilson Lalengke.
Gugatan ini mendapat perhatian luas dari kalangan jurnalis dan pegiat kebebasan berekspresi di Indonesia. Jika terbukti terjadi pelanggaran hukum dalam penangkapan para wartawan, putusan praperadilan ini dapat menjadi preseden penting dalam perlindungan profesi jurnalis di tengah ancaman kriminalisasi. (tim/red)