IAWNews.com – Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) mengkritik keras kebijakan Pengadilan Negeri (PN) Sorong yang melarang pengambilan foto dan video di ruang sidang maupun di lingkungan pengadilan. Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, menyebut larangan tersebut bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi dan kebebasan pers yang dijamin undang-undang.
Dalam pernyataan tertulis yang dirilis Kamis (05/06/2024), Wilson Lalengke meminta Mahkamah Agung Republik Indonesia segera meninjau ulang dan mencabut kebijakan PN Sorong tersebut. Ia menilai larangan itu tidak hanya mencederai kebebasan pers, tapi juga merugikan hak publik untuk memperoleh informasi secara transparan.
“Pers nasional tidak boleh dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Keterbukaan informasi dalam proses hukum adalah fondasi penting bagi peradilan yang benar, adil, dan akuntabel”, tegas Wilson Lalengke, alumni Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) ke-48 Lemhannas RI tahun 2012.
Ditekankan oleh Wilson Lalengke bahwa lembaga peradilan seharusnya menjadi teladan dalam menjunjung tinggi hukum dan prinsip keterbukaan. Ia mengkritik keras adanya praktik yang justru menghalangi akses informasi di institusi yang semestinya menjadi pilar keadilan.
“Sangat aneh jika lembaga penegak hukum justru dibiarkan melanggar hukum. Kami mendesak Mahkamah Agung untuk segera menertibkan kebijakan konyol PN Sorong ini demi menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan”, kata Wilson Lalengke.
Lebih jauh, Wilson Lalengke juga mengutip Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh dan menyebarkan informasi melalui media apa pun, termasuk pengambilan gambar dan video.
“Pengumpulan informasi, termasuk dokumentasi visual dalam bentuk foto atau video, adalah hak warga negara. Tidak bisa dibatasi sembarangan, apalagi oleh lembaga publik yang dibiayai dari uang rakyat”, jelas Wilson Lalengke.
Menurut Wilson Lalengke, pengadilan memiliki kewajiban untuk menyediakan akses terhadap informasi yang benar, akurat, dan lengkap, karena keberadaan dan operasional lembaga peradilan didanai oleh masyarakat melalui pajak.
“Rakyat bergotong royong membiayai pengadilan dan menggaji para hakim serta pegawainya. Maka rakyat juga berhak mengetahui bagaimana proses hukum dijalankan”, tandas lulusan program pascasarjana bidang Global Ethics dan Applied Ethics dari tiga universitas ternama di Eropa itu.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak Pengadilan Negeri Sorong maupun Mahkamah Agung atas desakan PPWI tersebut. (tim/red)