IAWNews.com – Di tengah gegap-gempita stadion ketika timnas berlaga, pekik “Merdeka!” masih menggema. Namun di ruang-ruang kekuasaan, suara kemerdekaan itu kian lirih. Nasionalisme seolah hanya hidup di layar kaca dan media sosial saat sepakbola dimainkan. Selebihnya, merah-putih tinggal simbol, jauh dari semangat anti-kolonialisme dan anti-imperialisme yang dulu melahirkan republik ini.
Kini, ketika Indonesia belum genap seabad merdeka, banyak pihak mulai mempertanyakan: ke mana hilangnya roh orang merdeka? Elit-elit negeri ini tampak kehilangan arah, dan hal ini dirasakan oleh berbagai kalangan, baik dari tubuh militer yang terkenal patriotik hingga para aktivis sipil yang gelisah menyaksikan negara berjalan limbung.
Kegamangan bukan hanya ekspresi emosional, tetapi juga cerminan dari gagalnya lembaga-lembaga negara menjalankan fungsinya. Ketimbang menghasilkan kebijakan publik terbaik, sebagian besar institusi kini justru mempermalukan rakyat secara kolektif.
Secara historis, elit terdidik pernah menjadi garda depan dalam perjuangan melawan kolonialisme—baik lewat perlawanan bersenjata, maupun lewat meja perundingan dengan Belanda, Inggris, dan kekuatan global lainnya. Namun di era modern, khususnya sejak masa Orde Baru hingga kini, peran elit intelektual semakin meredup. Alih-alih menjadi pemikir negara, mereka tenggelam dalam sistem kekuasaan yang rakus dan oportunistik.
Bukan soal sipil atau militer. Sejak lama dikotomi ini terbukti tak relevan. Karena, seperti kini terlihat, baik seragam hijau maupun jas hitam, rakus tidak pandang institusi. Tentara yang korup tak ada bedanya dengan politisi yang haus proyek.
Presiden Prabowo Subianto tengah menggaungkan efisiensi anggaran. Namun gaung itu belum seiring sejalan dengan gerakan nyata pemberantasan korupsi. Bahkan, suara keras presiden dalam menindak koruptor kerap terdengar timpang ketika dihadapkan pada kenyataan politik: banyak pelaku justru berasal dari lingkar Koalisi Merah Putih sendiri.
Korupsi ibarat kanker yang melekat erat pada tubuh kekuasaan. Seruan untuk memberantasnya seringkali terdengar seperti ajakan untuk memotong tangan sendiri. Ketika alat-alat negara justru digunakan sebagai alat tawar-menawar dan pembagian kekuasaan, maka semangat bernegara pun tak lagi hidup. Negara, dalam pengertian sejatinya, kian kehilangan makna.
Di balik upacara-upacara kenegaraan yang penuh simbol, sistem kaderisasi elit justru dipenuhi oleh nepotisme dan loyalitas buta. Cita-cita republik dikalahkan oleh relasi darah dan kepentingan.
Selama 80 tahun, rakyat Indonesia telah berkali-kali dikecewakan oleh elit yang gagal belajar dari sejarah. Dalam jargon “NKRI harga mati”, semangat menjaga kesatuan justru tak diiringi dengan keberanian membersihkan institusi dari para penyeleweng. Ungkapan “negara harus hadir” seolah hampa ketika yang hadir justru para predator anggaran.
Kini, republik berada di titik balik. Kabinet yang seharusnya menjadi lokomotif perubahan justru terjebak tarik-menarik kepentingan. Ketika presiden menyerukan pembersihan, sebagian menterinya berkata bahwa korupsi mustahil diberantas total.
Pertanyaan kunci yang harus dijawab adalah: apakah Presiden Prabowo akan berani mengambil langkah strategis untuk memecah kebuntuan ini? Apakah keberaniannya sebagai patriot akan diterjemahkan dalam tindakan politik nyata, bukan sekadar retorika ?.
Jika tidak, maka kita hanya akan mengulang sejarah, dan elit negeri ini akan terus jatuh di lubang yang sama. Seperti keledai yang tidak belajar. (del)