IAWNews.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkap adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus hukum Aiptu Labora Sitorus (64), anggota Polres Raja Ampat, Papua Barat, yang divonis 15 tahun penjara atas dugaan illegal logging, penyelundupan BBM, dan pencucian uang. Dalam dokumen resmi hasil eksaminasi yang diterbitkan Desember 2015, Komnas HAM menyatakan bahwa penanganan kasus tersebut mencerminkan bentuk state crime atau kejahatan yang dilakukan oleh negara terhadap warga negaranya.
Dokumen eksaminasi disusun oleh Majelis Eksaminasi yang terdiri dari enam ahli hukum, diketuai oleh Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H., M.H. Komnas HAM menilai terjadi kesalahan fatal dalam penetapan subjek hukum oleh penyidik Polri, penuntutan oleh Kejaksaan, hingga pemidanaan oleh majelis hakim. Komnas HAM menyebut kesalahan tersebut sebagai error in persona.
“Kesalahan penegak hukum dari hulu ke hilir—penyidik, jaksa, hingga hakim—dalam menjatuhkan vonis terhadap Labora Sitorus, merupakan tindak pidana dalam ranah kriminologi yang dikategorikan sebagai state crime. Ini melanggar hak asasi Labora Sitorus sebagai warga negara Indonesia,” tulis Komnas HAM dalam dokumen eksaminasi tersebut.
Lebih lanjut, Komnas HAM menegaskan bahwa putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1081 K/PID.SUS/2014 yang menghukum Labora Sitorus seharusnya batal demi hukum. Hal itu merujuk pada cacat hukum dalam amar putusan, sebagaimana diatur dalam Pasal 197 KUHAP.
Atas temuan tersebut, Komnas HAM merumuskan tiga rekomendasi strategis. Pertama, penegak hukum diminta melaksanakan tugas secara profesional dan proporsional sesuai kewenangan yang diatur dalam perundang-undangan, termasuk UU Kepolisian, UU Kejaksaan, UU Kekuasaan Kehakiman, serta UU Hak Asasi Manusia.
Kedua, Komnas HAM mendorong publikasi hasil eksaminasi ini melalui media massa dan media sosial untuk meningkatkan kesadaran hukum, sekaligus mencegah pengulangan pelanggaran hak asasi manusia di masa mendatang.
Ketiga, Komnas HAM merekomendasikan agar Labora Sitorus mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Upaya ini diharapkan menjadi langkah korektif dalam sistem peradilan pidana serta mendorong pemulihan hak-haknya sebagai warga negara.
Temuan Komnas HAM kembali membangkitkan pertanyaan di benak masyarakat: siapa aktor utama di balik kriminalisasi Labora Sitorus? Sebagai pintu awal penegakan hukum, publik menyoroti peran pimpinan Polri saat itu sebagai pihak yang diduga menjadi promotor utama state crime ini.
Masyarakat masih menyimpan harapan bahwa negara, melalui aparat penegak hukum, akan menjalankan tugas dengan integritas, berpijak pada fakta, bukan rekayasa. Di tengah sorotan publik terhadap sistem peradilan, muncul seruan agar keadilan tidak menjadi barang mewah, dan agar nurani aparat hukum kembali berpihak pada kebenaran. (tim/red)