IAWNews.com – Praktik mediasi di Pengadilan Negeri (PN) Sorong menuai sorotan tajam setelah pihak tergugat dalam perkara sengketa lahan menilai proses tersebut tidak transparan dan cenderung memaksakan kehendak. Sidang yang seharusnya menjadi ruang kompromi dinilai justru menyerupai praktik lama di era Orde Baru: pemaksaan pilihan tanpa kejelasan, atau dalam istilah populernya beli kucing dalam karung.
Pihak penggugat, PT Bagus Jaya Abadi (BJA), melalui kuasa hukumnya Albert Frasstio, menawarkan skema pembagian dua atas lahan sengketa disertai kompensasi sebesar Rp 2,5 miliar. Namun, proposal tersebut disampaikan tanpa disertai dokumen legalitas kepemilikan atau kejelasan lokasi pasti lahan yang dimaksud. Kondisi ini sontak menimbulkan pertanyaan besar dari tergugat, Hamonangan Sitorus.
“Tidak ada kejelasan. Bagaimana bisa bicara bagi dua dan kompensasi miliaran rupiah kalau letak lahannya saja tidak jelas? Ini seperti disuruh membayar kucing dalam karung”, kata Hamonangan Sitorus.
Saat diminta penjelasan lebih lanjut, pengacara penggugat berdalih bahwa dasar klaim tersebut adalah bagian dari “materi pokok perkara” yang hanya dapat dibuka dalam sidang pokok, bukan mediasi. Anehnya, hakim mediator Rivai Rasyid Tukuboya, S.H., dinilai sejalan dengan sikap penggugat dan justru mendorong sidang untuk segera dilanjutkan ke tahap persidangan, meskipun mediasi belum benar-benar menghasilkan titik temu.
Tergugat pun mempertanyakan sikap ini, mengingat salah satu keterangan dalam proposal penggugat bahkan menyebutkan lokasi yang kemungkinan berada di wilayah laut—yang secara hukum tidak mungkin dimiliki pribadi atau badan hukum.
Dalam konteks mediasi, menurut pengamat hukum yang enggan disebut namanya, mediator semestinya memainkan peran sentral dalam mengurai persoalan secara objektif. “Hakim mediasi harus menjadi jembatan yang memungkinkan kedua pihak menjelaskan posisi dan keberatan mereka secara seterang mungkin. Kalau mediator terburu-buru menyimpulkan mediasi gagal tanpa membongkar isi karungnya terlebih dahulu, maka itu bukan mediasi yang adil”, ujarnya.
Sengketa lahan ini pun menimbulkan kritik terhadap kualitas mediasi di lembaga peradilan. Proses yang seharusnya bisa menjadi ruang damai dan kompromi justru berujung pada ketidakpuasan dan kecurigaan, terutama jika pihak mediator tidak netral atau tidak cukup mendalami substansi perkara.
Pengamatan terhadap jalannya sidang ini menyiratkan bahwa keberhasilan mediasi tidak hanya bergantung pada niat baik para pihak, tapi juga pada integritas dan kecermatan hakim mediator. Dalam banyak kasus, hakim mediasi yang mampu membawa para pihak ke titik temu biasanya mendapat apresiasi tinggi dari institusi peradilan. Sebaliknya, kegagalan yang diakibatkan oleh ketidakcakapan atau keberpihakan bisa menjadi catatan buruk dalam rekam jejak seorang hakim.
Kasus ini pun menjadi pengingat bahwa transparansi dan kejelasan dalam setiap tahap penyelesaian sengketa adalah kunci, terutama jika menyangkut hak-hak atas tanah yang bernilai tinggi dan rentan konflik. (wil)