IAWNews.com – Kapital Fund Indonesia, berdasarkan UUD No 13 Tahun 1963, Pasal 4, Rp 1.000.000.000 (seribu juta Rupiah) merupakan sistem keuangan penting yang mendukung stabilitas moneter negara. Ini adalah modal dasar yang sah dan legal. Regulasi ini diatur oleh Bank Indonesia sejak masa Presiden Ir. Soekarno hingga Presiden M. Soeharto. Pada tahun 1997, terjadi audit global yang mengakibatkan krisis moneter akibat terhentinya sementara laju regulasi keuangan.
Dalam proses penyelesaian, Presiden Soeharto memerintahkan Azwar Annas dan tim untuk mencari solusi yang berujung pada kesepakatan dengan International Guarantee, yang siap menjamin percetakan uang untuk mengisi kekosongan kas negara dan devisa di Bank Indonesia. Dugaan percetakan uang bergambar Soeharto tahun 1993 dianggap ilegal karena dilakukan tanpa jaminan dan lisensi yang jelas. Akhirnya, setelah International Guarantee menandatangani hasil audit global di Kapal Perang Armada 7 di Tanjung Benoa, Bali, pada akhir tahun 1996/1997, perjanjian jaminan baru dan lisensi ditandatangani. Percetakan uang dilakukan di Australia untuk mengisi kas sekitar 34 negara, termasuk pencetakan uang pertama sebesar Rp 100.000 bergambar Ir. Soekarno dan Dr. Hatta, yang diproduksi dalam jumlah 555 juta lembar. Dana yang telah ditetapkan sejak krisis moneter 1998 mencapai Rp 55 triliun, yang ditandatangani di Gedung A Pejaten oleh International Guarantee dan Kepala BIN pertama, Letjen Ari J. Kumaat, atas perintah Presiden Megawati.
Sementara itu, uang yang diregulasi pada masa Presiden Ir. Soekarno hingga Presiden Soeharto, semuanya masih dijamin oleh INA 18 Lady Offrosse 1945 SRN sebagai jaminan internasional.
Namun, fakta lain menunjukkan adanya klaim modal dana sebesar Rp 13.000 triliun. Klaim ini muncul setelah reformasi, berdasarkan surat pengembalian dan pertanggungjawaban terhadap International Guarantee, yang ditandatangani oleh mantan Presiden Soeharto pada tanggal 3 Juli 2007 di Cendana, Jakarta. Hingga kini, uang tersebut belum selesai karena belum ada penerimaan resmi dari pihak grantor. Jumlah ini telah diblokir secara sistem karena tidak ada tanda terima resmi dari pihak pemberi.
Berdasarkan UUD No 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, Pasal 34 Ayat 1 menyebutkan bahwa bank bertindak sebagai pemegang kas pemerintah, dan Ayat 2 menyatakan bahwa bank menyelenggarakan pemindahan uang untuk pemerintah di antara kantor-kantornya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Ketidaksesuaian Dana dan Dampaknya
Dana sebesar Rp 13.000 triliun tersebut tidak dapat digunakan sebagai jaminan untuk pencetakan uang baru. Meski begitu, sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), diduga pemerintah menggandakan atau menduplikasi nomor seri uang yang ada. Tindakan ini memicu penurunan nilai rupiah, sementara jumlah uang yang beredar terus bertambah melebihi perangkat hukum yang dimiliki negara.
Saat ini, pada tahun 2024, jumlah uang yang beredar sudah sangat banyak, baik yang diedarkan oleh pemerintah maupun sektor swasta, melalui dana bazeter atau non-bazeter. Kondisi ini semakin parah karena kas negara mengalami defisit sebesar Rp 600 triliun, sementara pengedaran jumlah uang yang beredar sudah sangat tidak terkendali. Penyebab utama dari krisis ini adalah praktik keuangan yang tidak transparan dan fakta yang sengaja disembunyikan oleh oknum tertentu. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk bekerja sama dengan lembaga internasional dan penegak hukum terkait ICC/ICJ untuk segera melakukan audit keuangan dari mulai asal usul hingga peredaran, termasuk izin lisensi jaminan dan izin cetak, demi stabilitas mata uang Rupiah dalam menyongsong Indonesia Emas di tahun 2045.
Peran Pencetakan Uang di Australia
Pencetakan uang di Australia menjadi salah satu elemen penting dalam permasalahan ini. Selain rupiah, pencetakan tersebut juga mencakup kurang lebih 34 mata uang lainnya, seperti dolar AS (USD) dan euro. Proses pencetakan ini telah mendapatkan jaminan legalitas dari International Guarantee, sebuah badan internasional yang mengatur sirkulasi mata uang dan jaminannya.
Namun, 17 orang diduga terlibat dalam upaya menyembunyikan fakta bahwa izin edar dan regulasi resmi untuk pencetakan ini telah disetujui pada akhir 2001 hingga awal 2002. Dokumen tersebut ditandatangani di Gedung A Pejaten, antara International Guarantee, M. Bambang Utomo (alm), dan Kepala BIN Letjen Ari J. Kumaat (alm). Kini, Gedung A merupakan pusat operasi Badan Intelijen Negara (BIN).
Dampak terhadap Stabilitas Rupiah
Duplikasi nomor seri dan pencetakan uang tanpa jaminan devisa menyebabkan inflasi yang merugikan ekonomi. Jumlah uang yang beredar melebihi cadangan devisa legal, sehingga nilai tukar rupiah terus melemah. Inflasi ini tidak hanya menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa, tetapi juga menurunkan daya beli masyarakat.
Akibatnya, investor kehilangan kepercayaan terhadap rupiah. Kondisi ini membuat transaksi ekonomi menjadi sulit karena pelaku usaha, baik lokal maupun asing, enggan menggunakan rupiah sebagai alat pembayaran. Situasi ini semakin menurunkan daya saing Indonesia di pasar global.
Pentingnya Regulasi dan Transparansi
Untuk mengatasi krisis ini, pemerintah perlu melakukan regulasi keuangan dengan tegas dan transparan. Setiap kebijakan harus didasarkan pada data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, pihak yang berwenang harus menindak tegas para pelaku yang terlibat dalam manipulasi atau duplikasi keuangan.
Pemerintah juga harus memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan negara. Sosialisasi mengenai status dana modal yang legal serta langkah-langkah perbaikan harus dilakukan secara terbuka. Masyarakat perlu memahami bahwa upaya pemulihan ekonomi memerlukan kerja sama dari semua pihak.
Selain itu, Indonesia dapat memperkuat kerja sama dengan badan internasional seperti International Guarantee, IMF, ICC, dan ICJ untuk memastikan perolehan uang memenuhi standar global. Langkah ini penting untuk menjaga stabilitas moneter Indonesia dan mengembalikan kredibilitas mata uang rupiah.
Sejak 1945 hingga 1991, yang menjadi penjamin lisensi adalah INA 18.1945.SRN. Selanjutnya, sejak penandatanganan di Tanjung Benoa, Bali, akhir tahun 1996 hingga akhir tahun 2020, M. Bambang Utomo menjadi penjamin.
Artikel ini membahas sejak ditetapkannya UUD No 13 Tahun 1968 setelah adanya perubahan sistem Bank Sentral, yang sebelumnya dipegang oleh BNI 46, dan terbentuknya UUD No 13 Tahun 1968, di mana pemerintah mengakui eksistensi De Javache Bank (DJB) menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral negara Indonesia, pemegang kas, dan pelaksana regulasi.
Kapital fund Indonesia memiliki peran strategis dalam stabilitas ekonomi nasional. Namun, praktik keuangan yang tidak transparan telah menciptakan krisis besar yang mengancam perekonomian. Upaya kolektif antara pemerintah, lembaga internasional, dan masyarakat sangat penting untuk mengatasi permasalahan ini.
Dengan tindakan yang tepat, Indonesia dapat memperbaiki sistem keuangannya dan membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap rupiah. Hal ini akan menciptakan fondasi yang kuat untuk menghadapi tantangan ekonomi di masa depan. Selain itu, saya menduga selama ini penguasa Bank Indonesia telah melakukan double standar dan off balance. (redaksi)