Categories Hukum & Kriminal,

Kapolri Digugat PPWI di PN Jaksel, Jawaban Hukum Dinilai Sarat Rekayasa dan Retorika

IAWNews.com – Gugatan praperadilan yang diajukan Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) terhadap Kapolri, Kapolda Jawa Tengah, dan Kapolres Blora tengah bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam sidang yang digelar Kamis, 03 Juli 2025, jawaban dan eksepsi para tergugat justru menuai sorotan tajam karena diduga sarat retorika dan rekayasa hukum.

Gugatan ini dilayangkan oleh Tim Penasehat Hukum PPWI mewakili dua wartawan asal Jawa Tengah, Siyanti dan Febrianto, yang diduga menjadi korban penangkapan dan penahanan tidak prosedural oleh aparat Polres Blora. Sidang praperadilan berlangsung secara maraton dan dijadwalkan putusan pada Kamis, 10 Juli 2025 mendatang.

Dalam jawaban resminya, Kapolri selaku Tergugat I yang diwakili enam kuasa hukum, mendalilkan adanya kekeliruan dalam penunjukan pihak tergugat (error in persona). Mereka menilai bahwa Kapolri tidak memiliki keterlibatan langsung dalam tindakan penangkapan, sehingga yang seharusnya digugat hanyalah penyidik Polres Blora (Tergugat III). Argumen ini merujuk pada Pasal 1 angka (1) KUHAP mengenai definisi penyidik.

“Kapolri mencoba cuci tangan dari tanggung jawab institusionalnya. Ini adalah bentuk pemahaman yang keliru terhadap konsep tanggung jawab pimpinan dalam sistem hukum”, tegas Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, Jumat, 04 Juli 2025.

Menurut Wilson Lalengke, justru gugatan akan dianggap error in persona jika Kapolri dan Kapolda tidak disertakan sebagai tergugat, karena keduanya merupakan penanggung jawab atas kinerja bawahannya.

Sementara itu, Kapolda Jateng (Tergugat II) dan Kapolres Blora (Tergugat III) menyatakan bahwa PN Jakarta Selatan tidak berwenang mengadili perkara ini. Mereka berpendapat bahwa sesuai Pasal 84 KUHAP, gugatan seharusnya diajukan di Pengadilan Negeri Blora berdasarkan lokasi kejadian perkara (locus delicti).

Wilson Lalengke menolak argumen tersebut. Ditegaskannya bahwa dalam gugatan praperadilan, tempat kedudukan para tergugat juga menjadi dasar yurisdiksi. “Salah satu tergugat berkantor di Jakarta Selatan, maka PN Jaksel berwenang memeriksa perkara ini”, ujarnya.

Yang paling mencolok dalam jawaban para tergugat, menurut Wilson Lalengke, adalah dugaan adanya rekayasa dokumen. Ia menilai pihak kepolisian mencoba memanipulasi fakta dengan menyebut penangkapan dilakukan dalam kondisi tertangkap tangan (OTT), padahal semua dokumen menunjukkan kasus tersebut merupakan delik aduan.

Dalam Surat Perintah Penangkapan dan Penahanan yang dikeluarkan Polres Blora pada 23 Mei 2025, dasar hukum tindakan tersebut adalah Laporan Polisi dari seorang warga sipil bernama Riko Hendra Purnawan, anggota TNI Kodim Blora, terkait pelanggaran UU Migas. Namun, dalam eksepsi, polisi mengubah klasifikasi kasus menjadi OTT dengan mengganti nomor laporan dari LP/B menjadi LP/A.

“Ini jelas kebohongan publik dan upaya menyesatkan hakim. Mereka merubah klasifikasi hukum agar prosesnya terkesan sah. Ini perilaku aparat yang tidak hanya menyalahi hukum, tapi juga mencederai keadilan”, kata Wilson Lalengke dengan nada geram.

Sidang praperadilan ini menjadi sorotan luas, bukan hanya karena menyangkut kebebasan pers, tetapi juga karena dugaan kuat adanya penyalahgunaan wewenang oleh aparat negara. PPWI menegaskan akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas. (tim/red)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like