IAWNews.com – Awan kelabu kembali menyelimuti dunia pers Indonesia. Penunjukan Komaruddin Hidayat sebagai Ketua Dewan Pers periode 2025–2028 memicu kekhawatiran banyak kalangan, terutama karena sosok akademisi ini dinilai tidak memiliki pengalaman di bidang jurnalistik.
Sejumlah kalangan menyayangkan langkah ini, mengibaratkan kondisi tersebut seperti lembaga pelaut yang dikendalikan oleh seorang ahli bangunan. “The right man on the right place” tampaknya tidak berlaku di institusi Dewan Pers saat ini.
Menurut sejumlah pengamat dan praktisi media, semestinya kursi Ketua Dewan Pers diisi oleh sosok wartawan sejati yang memahami tantangan operasional media dan dinamika peliputan di lapangan. Ketidakpahaman terhadap seluk-beluk dunia jurnalistik dikhawatirkan akan menyesatkan arah lembaga yang bertugas menjaga kemerdekaan dan kualitas pers nasional tersebut.
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa dasar. Dalam beberapa tahun terakhir, indikator kebebasan pers di Indonesia menunjukkan tren penurunan. Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) yang dirilis Dewan Pers mengalami penurunan signifikan dari 77,88 pada 2022 menjadi 69,36 pada 2024.
Laporan Reporters Without Borders (RSF) turut mengonfirmasi kondisi serupa. Dalam World Press Freedom Index 2025, Indonesia berada di posisi ke-127 dari 180 negara, merosot tajam dari peringkat 108 pada 2023.
Tidak hanya itu, data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat bahwa 75,1 persen jurnalis Indonesia pernah mengalami kekerasan, baik secara fisik maupun digital. Survei ini melibatkan 2.020 jurnalis di seluruh Indonesia dan menjadi cerminan buruknya perlindungan terhadap wartawan.
Salah satu isu yang turut disorot adalah praktik kerja sama media oleh pemerintah daerah yang dianggap melegalkan ‘pelacuran pers’. Banyak media lokal dinilai kehilangan independensinya karena bergantung pada kontrak publikasi dari pemerintah.
Padahal, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan bahwa Dewan Pers bertugas menjaga kemerdekaan pers. Kerja sama media idealnya dilakukan melalui pihak ketiga agar wartawan tetap bebas menjalankan fungsi kontrol sosial, termasuk mengkritisi kinerja pejabat publik.
Namun, pendekatan Dewan Pers yang mewajibkan media harus terverifikasi untuk bekerja sama dengan Pemda dinilai diskriminatif. Pasalnya, dari sekitar 47 ribu media di Indonesia, hanya 1.156 yang terverifikasi di situs resmi Dewan Pers pada 2025.
Isu lain yang menjadi sorotan adalah ketimpangan distribusi belanja iklan nasional. Ratusan triliun rupiah belanja iklan nasional didominasi oleh media nasional di Jakarta. Media lokal nyaris tidak mendapat bagian yang layak dan dipaksa bertahan hidup dengan nilai kontrak kerja sama yang minim dari pemerintah daerah.
Sementara itu, banyak perusahaan pers, terutama di daerah, belum memenuhi kewajiban membayar gaji wartawan sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR). Hal ini bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja yang mengatur sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar.
Kondisi ini memperparah kerentanan wartawan terhadap praktik amplop dan tekanan dari narasumber, karena tidak adanya jaminan kesejahteraan.
Penulis menyampaikan penolakannya terhadap mekanisme pemilihan Anggota Dewan Pers yang dinilai tidak demokratis dan bertentangan dengan UU Pers. Ia berharap, di tengah berbagai tantangan, para anggota Dewan Pers periode 2025–2028 berpihak kepada media kecil dan wartawan lokal yang selama ini termarjinalisasi.
Meski integritas Komaruddin Hidayat di bidang pendidikan tidak diragukan, kiprahnya di Dewan Pers akan dinilai dari kemampuannya mengelola kehidupan pers sesuai amanat UU Pers. (hgm)