IAWNews.com – Rohidin SH,MH, M.Si Sultan Patrakusumah Vlll,yang juga sebagai ketua umum Darma Siliwangi Nusantara (DSN ) menulis tentang permasalahan tanah di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada hakikatnya sebuah petunjuk yang mengatur tanah adat. Pada prinsipnya UUPA mengakui bahwa tanah adat sebagai hak milik masyarakat adat dan mengatur hak ulayat.
Hak ulayat sebagaimana termaktub dalam undang-undang tersebut tiada lain hak persekutuan masyarakat adat atas suatu wilayah. Hak ulayat meliputi hak memanfaatkan tanah, hutan, air, dan isinya. Bahkan, UUPA menghapus perbedaan antara hukum adat dan hukum perdata Belanda terkait pertanahan. Dan UUPA hadir pada prinsipnya untuk mengatur pendaftaran tanah serta menjamin kepastian hukum.
Dalam UUPA secara tegas mengatur bahwa hak milik atas tanah adalah hak turun-temurun yang terkuat dan terpenuh. Terdapat beberapa ketentuan terkait hak atas tanah adat, di antaranya: Hakulayat. Hak ulayat ini tiada lain hak masyarakat hukum adat atas wilayah tanahnya. Hak ini meliputi hak untuk membuka tanah, hutan, dan mengumpulkan hasil hutan. Hak milik adat adalah hak perorangan dan hak komunal. Pendaftaran tanah merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai sahnya peralihan dan pembebanan hak atas tanah.

Status tanah ulayat dapat diubah menjadi hak milik perseorangan jika tanah tersebut sudah menjadi tanah negara. Untuk mengakui tanah ulayat, dilakukan identifikasi, verifikasi, dan validasi. Identifikasi dilakukan oleh bupati atau walikota melalui camat dengan melibatkan masyarakat hukum adat. Hasil identifikasi kemudian diverifikasi dan divalidasi oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota.
Penulis dalam ruang opini ini memberikan sebuah contoh mengenai hak ulayat wilayah Kesultanan Selacau, di Parungponteng, Kabupaten Tasikmalaya. Merujuk fakta sejarah tanah Selacau (Selatjaue) merupakan hal ulayat yang tidak perlu lagi di palidasi karena Selacau sudah sangat jelas peta egendomnya.
Artinya, hak ulayat Selacau mengacu pada UUPA merupakan hak masyarakat hukum adat atas wilayah tanahnya. Karenanya, Wilayah Kesultanana Selacau merupakan hak perorangan dan hak komunal. Berpijak dari UUPA tersebut penulis berpandangan bahwa pemilik hak waris keturunan kesultanana Selacau memiliki hak untuk mengambil hak kepemilikannya berupa tanah, hutan-hutan yang selama ini diklaim oleh pemerintah sebagai tanah Perhutani.
Penulis meyakini hak waris keturunannya berupa tanah-tanah itu bukan untuk dikuasai secara pribadi tetapi tanah-tanah itu akan dibangun destinasi wisata cagar budaya misalnya, sehingga azas kemanfaatannya dapat dirasakan oleh masyarakat dan pemerintah setempat.
Sekalipun demikian, pemegang hak waris Kesultanan Selacau sebagaimana diatur dalam UUPA harus tetap memberikan keleluasaan kepada masyarakat yang sudah memanfaatkan tanah. Namun, di sisi lain hak waris keturunan Selacau, setidaknya bisa mengambil sebuah keuntungan berupa Royalti dari pembagian pajak.
Tanah yang kosong dari penguasaan rakyat harus dikembalikan ke ahli waris. Dengan cara seperti ini tentunya akan terjalin kemitraan yang solid antara ahli waris, pemerintah dan masyarakat dalam mengelola dan mengembangkan tanahadat menjadi kawasan wisata Cagar budaya dan wisata umum. Pemerintahseyogyanya mendukung pemegang hak waris tanah adat (Selacau) untuk mengembangkan wilayahnya menjadi kawasan wisata Gurilap (gunung, rimba, laut, dan pantai) yang profesional,tutupnya. (Penulis adalah Sultan Patrakusumah VIII, Trust of Guarantee Phoenix INA 18)