IAWNews.com – Dunia hukum Indonesia kembali diguncang oleh tindakan tidak terpuji seorang perwira Polri, AKBP Bintoro, mantan Kasatreskrim Polrestro Jakarta Selatan. Ia diduga kuat memeras keluarga pelaku kejahatan senilai Rp 20 miliar. Dugaan ini tidak hanya mencoreng institusi Polri tetapi juga menghancurkan harapan masyarakat terhadap penegakan hukum yang bersih dan adil.
Wilson Lalengke, alumni PPRA-48 Lemhannas RI 2012 yang dikenal kritis terhadap perilaku buruk aparat, menyatakan keprihatinannya atas kasus ini. “Jika benar peristiwa itu, saya hanya bisa mengelus dada, prihatin tingkat dewa. Mungkin dia sedang menabung untuk segera loncat dari AKBP langsung jadi jenderal, yang memang harganya puluhan miliar”, katanya pada Jumat (24/1/2025).
AKBP Bintoro diketahui menjabat sebagai Kasatreskrim Polrestro Jakarta Selatan dari Agustus 2023 hingga Agustus 2024. Selama masa jabatannya, ia kerap disebut sebagai “Perwira Selon” yang diduga gemar mempermainkan perkara hukum dengan praktik “86”. Kasus-kasus berat, termasuk yang melibatkan perempuan dan anak, disebut-sebut menjadi ladang pemerasan bagi Bintoro.
Puncak skandal ini bermula dari laporan polisi nomor LP/B/1181/IV/2024/SPKT/Polres Metro Jaksel dan LP/B/1179/IV/2024/SPKT/Polres Metro Jaksel terkait pembunuhan sadis dua remaja perempuan, N (16) dan X (17), pada April 2024. Kedua korban tewas akibat overdosis setelah dipaksa mengonsumsi narkoba oleh tersangka Arif Nugroho dan Muhammad Bayu Hartanto, anak dari pemilik jaringan klinik terkenal.
Namun, alih-alih menegakkan hukum, AKBP Bintoro diduga memanfaatkan kasus ini untuk memeras keluarga tersangka. Bintoro disebut meminta uang Rp 20 miliar dengan janji menghentikan penyidikan, sambil mengintimidasi keluarga korban agar mencabut laporan dengan iming-iming kompensasi yang minim.
Pada Mei 2024, tersangka Arif dan Bayu melayangkan protes karena meski uang Rp 20 miliar telah diserahkan, kasus mereka tetap diproses. Mereka juga menuduh aset mewah mereka, seperti mobil Ferrari dan motor Harley Davidson, digelapkan oleh Bintoro. Merasa dirugikan, keduanya menggugat Bintoro secara perdata pada Januari 2025, menuntut pengembalian uang dan aset.
Kasus ini menjadi pukulan telak bagi Polri, yang di bawah kepemimpinan Kapolri saat ini berupaya memperbaiki citra melalui program Presisi. Aktivis perlindungan anak mengkritik keras tindakan Bintoro yang dianggap menghancurkan kepercayaan publik terhadap Polri.
“Ini bukan sekadar masalah pemerasan. Ini soal penghancuran kepercayaan publik terhadap Polri”, kata seorang aktivis yang meminta namanya dirahasiakan.
Publik kini menanti langkah tegas Presiden Prabowo Subianto dan Kapolri untuk membongkar kasus ini hingga tuntas. Masyarakat mendesak agar ulah Bintoro tidak hanya dihukum, tetapi juga menjadi momentum reformasi institusi Polri agar terbebas dari budaya jual-beli hukum. Akankah kasus ini diusut hingga keadilan benar-benar tegak, ataukah terkubur seperti banyak kasus serupa sebelumnya ?. (tim/red)