IAWNews.com – Polemik muncul setelah Polres Metro Bekasi Kota menerbitkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus dugaan pencabulan yang dilakukan oleh seorang Warga Negara Asing (WNA) asal Afrika Selatan, RJ, terhadap seorang mahasiswi berinisial NP. Keputusan penghentian penyidikan ini diumumkan pada 31 Januari 2025, tetapi baru diterima korban pada 22 Februari 2025.
Kasus yang telah berjalan selama satu tahun ini sebelumnya telah menetapkan RJ sebagai tersangka berdasarkan alat bukti yang cukup sesuai dengan Pasal 184 KUHAP. Namun, secara tiba-tiba penyidik menyatakan tidak cukup bukti dan menghentikan kasus ini, memunculkan dugaan adanya ketidakwajaran dalam proses penyidikan.
Kasus ini bermula pada Februari 2024 ketika NP, mahasiswi Universitas BSI Kota Bekasi, menghadiri pertunjukan live music di sebuah kafe di Kecamatan Bekasi Timur bersama rekan-rekannya dari GMNI Bekasi. Di tengah acara, RJ diduga melakukan tindakan asusila dengan memegang dan memeras bagian tubuh korban, yang berujung pada kericuhan.
Selain itu, seorang rekan NP, CM, juga mengalami pengeroyokan oleh beberapa pekerja kafe. Rekaman CCTV yang menangkap kejadian tersebut hingga kini belum diungkap oleh pihak kepolisian, meskipun bukti rekaman telah tersedia.
Keputusan penghentian kasus ini menimbulkan berbagai pertanyaan, terutama karena RJ sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan dua alat bukti atau lebih, di antaranya Hasil visum korban, Pakaian yang dikenakan korban saat kejadian, Keterangan saksi di tempat kejadian, Pengakuan korban, dan Hasil tes urine korban atas permintaan kepolisian.

Namun, secara mendadak penyidik menyatakan alat bukti tidak cukup dan menerbitkan SP3. Beberapa kejanggalan yang ditemukan antara lain :
- SP3 Diterbitkan, Pelapor Terlambat Menerima Surat
SP3 tertanggal 31 Januari 2025 baru diterima korban pada 22 Februari 2025, dengan keterlambatan lebih dari tiga minggu.
Surat dikirim melalui jasa ekspedisi (TIKI), bukan disampaikan langsung oleh kepolisian seperti lazimnya dalam perkara pidana.
Dugaan muncul bahwa ada upaya membatasi hak pelapor dalam mengajukan praperadilan terhadap SP3 tersebut.
- Alasan “Tidak Cukup Bukti” Bertentangan dengan Fakta
RJ telah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan dua alat bukti atau lebih, tetapi kemudian dinyatakan tidak cukup bukti tanpa adanya gelar perkara tambahan yang melibatkan pelapor.
Tidak ada transparansi mengenai perubahan penilaian alat bukti dalam proses penyidikan.
- Potensi Pelanggaran Prinsip Keadilan dan Kepastian Hukum
Jika terdapat indikasi upaya menghalangi proses hukum, korban memiliki hak mengajukan praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP.
Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 menegaskan bahwa penghentian penyidikan harus dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Keterlambatan penyampaian SP3 dapat dianggap sebagai penghambatan akses keadilan bagi korban.
Kompolnas dan Ombudsman RI dapat menyelidiki dugaan maladministrasi dalam proses ini.
Keputusan penghentian kasus ini mendapat reaksi keras dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Bekasi.
“Kami sangat menyayangkan keputusan Polres Metro Bekasi Kota. Ada seorang aktivis perempuan yang dilecehkan oleh WNA di negaranya sendiri, tetapi kasusnya malah dihentikan. Kami akan membawa masalah ini ke tingkat yang lebih tinggi”, tegas Nicolas, Wakil Ketua DPC GMNI Bekasi.
Masyarakat pun mempertanyakan apakah terdapat pengaruh eksternal dalam penghentian kasus ini. Status RJ sebagai tenaga kerja asing (TKA) dan guru bahasa Inggris di SMA Ananda Kota Bekasi semakin menambah spekulasi mengenai kemungkinan intervensi dalam proses hukum.
Korban masih memiliki opsi hukum untuk menggugat keputusan SP3 ini melalui praperadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP. Jika ditemukan indikasi penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran prosedur, kepolisian dapat dipaksa untuk membuka kembali penyidikan kasus ini.
Selain itu, korban dan pihak advokasi dapat :
- Melaporkan keterlambatan SP3 dan dugaan maladministrasi ke Kompolnas dan Ombudsman RI.
- Meminta Komisi III DPR RI untuk mengawasi penanganan kasus ini dan memastikan transparansi kepolisian.
- Menuntut klarifikasi resmi dari Polres Metro Bekasi Kota mengenai alasan penghentian perkara.
Dengan meningkatnya sorotan publik, besar kemungkinan kasus ini akan kembali menjadi perhatian lembaga pengawas independen maupun aparat hukum yang lebih tinggi.
Penghentian kasus ini telah menimbulkan kekhawatiran publik terhadap kredibilitas penegakan hukum, terutama dalam kasus yang melibatkan WNA sebagai tersangka. Kejanggalan dalam penerbitan SP3, keterlambatan pemberitahuan, serta alasan penghentian penyidikan yang tidak konsisten semakin memperkuat dugaan adanya potensi penyalahgunaan wewenang.
Masyarakat kini menantikan transparansi dan kejelasan dari pihak berwenang agar keadilan bagi korban tetap terjaga. (tim/red)