IAWNews.com – Langkah pemerintah daerah dalam menonaktifkan Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga kini menjadi sorotan publik. Tindakan sepihak terhadap pejabat publik, terlebih seorang kepala sekolah negeri yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN), tidak dapat dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas.
Dalam pandangan hukum administrasi, penonaktifan tanpa proses dan alasan sah berpotensi melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Langkah semacam ini bukan hanya melanggar keadilan, tetapi juga bisa menjadi contoh penyalahgunaan wewenang yang mencederai martabat ASN dan sistem hukum negara.
Sebagai ASN, kepala sekolah memiliki perlindungan hukum terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat pembina kepegawaian. Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN dan PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, penonaktifan hanya dapat dilakukan jika ada alasan hukum yang sah, bukti pelanggaran disiplin, atau proses hukum yang sedang berjalan.
Prosedur tersebut harus dilalui dengan pemeriksaan, klarifikasi, dan hak pembelaan diri. Jika tahapan ini diabaikan, maka keputusan penonaktifan menjadi cacat hukum karena bertentangan dengan asas kepastian hukum dan asas proporsionalitas. Dengan kata lain, tidak ada ruang bagi tindakan administratif sepihak dalam sistem hukum ASN.
Banyak kasus penonaktifan kepala sekolah di daerah yang dilakukan tanpa pemberitahuan dan tanpa pemeriksaan mendalam. Dalam konteks hukum administrasi, tindakan demikian melanggar prinsip-prinsip AUPB, di antaranya:
- Asas Kepastian Hukum: setiap keputusan harus memiliki dasar hukum yang jelas dan tertulis;
- Asas Keterbukaan: pejabat wajib menjelaskan alasan dan bukti dasar keputusan;
- Asas Akuntabilitas: keputusan harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral;
- Asas Keadilan: keputusan tidak boleh bersifat sewenang-wenang atau bermuatan politis.
Apabila asas-asas ini tidak terpenuhi, keputusan penonaktifan dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk dinyatakan batal atau tidak sah.
Perlu digarisbawahi bahwa jabatan kepala sekolah bukan posisi politik. Kepala sekolah adalah bagian dari struktur ASN yang tunduk pada sistem meritokrasi dan aturan hukum, bukan pada tekanan politik atau kepentingan kelompok tertentu.
Menonaktifkan kepala sekolah tanpa alasan hukum yang sah sama saja dengan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power). Dalam situasi ini, kepala sekolah berhak menempuh jalur hukum untuk memulihkan hak dan nama baiknya.
Jika benar terjadi penyimpangan hukum dalam proses penonaktifan Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, langkah hukum yang dapat ditempuh antara lain :
- Mengajukan keberatan administratif kepada atasan langsung seperti Kepala Dinas Pendidikan atau Gubernur.
- Bila tidak ada tanggapan dalam 10–30 hari kerja, mengajukan gugatan ke PTUN atas dasar keputusan tata usaha negara yang dianggap melanggar hukum.
- Melaporkan dugaan pelanggaran prosedur kepada Inspektorat Provinsi atau Komisi ASN (KASN) untuk dilakukan pemeriksaan.
Langkah-langkah ini bukan semata pembelaan individu, melainkan upaya menjaga integritas sistem pemerintahan agar tetap bersih, akuntabel, dan berkeadilan.
Kasus penonaktifan Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga menjadi pengingat bahwa kekuasaan tanpa kendali hukum akan melahirkan ketidakadilan. Pemerintah daerah harus berhati-hati dalam mengambil keputusan administratif yang menyangkut karier ASN.
Dalam negara hukum, tidak ada ruang bagi keputusan sepihak yang mencederai hak-hak ASN. Setiap pejabat publik dari tingkat pusat hingga daerah wajib memastikan bahwa setiap kebijakan berpijak pada hukum, bukan kepentingan kekuasaan. (Alex A. Putra)