Categories Rakyat Bicara

Sengketa Ruko Marinatama Mangga Dua, Pembeli Gugat Sertifikat Hak Pakai ke PTUN Jakarta Timur

IAWNews.com – Seorang perwakilan penghuni Ruko Marinatama Mangga Dua, Jakarta Utara, yang enggan disebutkan namanya, mengungkap rangkaian persoalan hukum yang tengah mereka hadapi dalam sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur. Sengketa ini berawal dari status kepemilikan ruko yang dibeli sejak tahun 1997, namun hingga kini tak kunjung memperoleh sertifikat sesuai janji awal.

Menurut narasumber, ia merupakan pembeli pertama ruko tersebut pada tahun 1997. Saat itu, transaksi dilakukan melalui perjanjian jual-beli dengan komitmen bahwa sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) akan terbit setahun kemudian. Bila tidak terbit, perjanjian akan ditingkatkan menjadi akta jual-beli.

“Kami percaya karena ada keterangan dari Inkopal saat itu yang menyebut status tanah adalah HGB. Izin Gubernur juga mengatur bahwa SHGB harus diterbitkan atas nama pembeli, jadi kami merasa aman”, ungkapnya.

Namun satu tahun setelah pembelian, sertifikat yang dijanjikan tak kunjung terbit. Penundaan berlanjut hingga tahun kedua, hingga akhirnya pada 1999–2000 disampaikan bahwa HGB tidak bisa diterbitkan. Sebagai gantinya, penghuni justru diberikan perjanjian sewa-menyewa selama 25 tahun dan diberikan dokumen Hak Guna Pakai (HGP) terbitan Inkopal, yang belakangan diketahui bukan produk Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Perjanjian itu seolah-olah kami penyewa. Padahal kami tidak pernah merasa menyewa, karena sudah membayar penuh sebagai pembeli resmi”, ujarnya.

Narasumber menjelaskan bahwa baru pada Oktober 2024 ia mengetahui dasar hukum Inkopal menerbitkan perjanjian sewa, yakni Sertifikat Hak Pakai (HP) Nomor 477 Tahun 2000 atas nama Kementerian Pertahanan.

Padahal, menurutnya, bangunan sudah berdiri dan sudah diperjualbelikan sejak 1997. Ia mempertanyakan bagaimana BPN dapat menerbitkan Hak Pakai untuk aset komersial, mengingat:

– Bangunan komersial tidak boleh menggunakan Hak Pakai negara.

– Surat Keputusan Gubernur telah mengatur kewajiban penerbitan HGB atas nama pembeli.

“Ini janggal. Sertifikat Hak Pakai itu baru terbit tahun 2000, tetapi ruko sudah selesai dan telah dipasarkan sejak 1997. Seharusnya BPN tahu peruntukannya komersial dan sertifikat tidak boleh diterbitkan sebagai Hak Pakai”, jelasnya.

Atas dugaan cacat administrasi tersebut, para penghuni mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta Timur pada Juli 2025 untuk menguji keabsahan HP Nomor 477.

Dalam kondisi gugatan masih dalam tahap pembuktian, para penghuni mengaku dikejutkan oleh surat teguran dari Inkopal, yang mewajibkan mereka memperpanjang perjanjian sewa serta membayar biaya sewa. Bila tidak, mereka diminta mengosongkan ruko.

“Kami bingung. Dasar hukum mereka yakni Sertifikat Hak Pakai sedang kami gugat. Seharusnya semua pihak menghormati proses peradilan yang masih berjalan, bukan mengeluarkan ancaman pengosongan,” tegasnya.

Penghuni menegaskan bahwa permasalahan ini bukan sekadar sengketa perdata, melainkan menyangkut dugaan kesalahan administratif dalam penerbitan sertifikat negara.

“Kami hanya ingin kepastian hukum. Kami mohon negara hadir, terutama BPN, agar penghuni tidak menjadi korban. Peraturan sudah jelas: bangunan komersial tidak boleh menggunakan Hak Pakai negara”, katanya.

Dalam persidangan, para penghuni juga akan menghadirkan saksi ahli yang akan menjelaskan bahwa penggunaan Hak Pakai pada bangunan komersial harus dibatalkan demi hukum.

Tak berhenti di masalah legalitas tanah, penghuni juga mengungkap persoalan lain yang membebani mereka:

– Penagihan IPL (iuran pemeliharaan lingkungan) dinilai terus naik tanpa transparansi penggunaan.

– Tarif parkir berbeda antara penghuni dan pengunjung umum.

– Tarif air dipatok hingga Rp56.000 per meter kubik, jauh di atas tarif resmi Rp17.500.

– Untuk usaha kuliner, tagihan air dapat mencapai Rp8–12 juta per bulan, bahkan sering muncul angka pemakaian yang dinilai tidak masuk akal.

“Ini sangat memberatkan dan menimbulkan dugaan pungutan liar. Lingkungan tidak terpelihara, tetapi tagihan terus naik,” ujarnya.

Hingga berita ini diturunkan, gugatan atas Sertifikat Hak Pakai Nomor 477 masih dalam tahap pembuktian di PTUN Jakarta Timur. Para penghuni berharap pemerintah, khususnya BPN dan Kementerian ATR, turut memberi perhatian dan memastikan proses hukum berjalan objektif.

“Kami hanya ingin keadilan dan perlindungan hukum sebagai warga negara yang membeli ruko secara sah. Kami berharap sengketa ini menjadi terang dan tidak ada lagi warga yang dirugikan oleh kesalahan administrasi pertanahan”, pungkas narasumber. (tim/red)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like