Categories Hukum & Kriminal,

Sengketa Ruko Marinatama, Warga Terancam di Tanah Negara

IAWNews.com – Konflik Ruko Marinatama Mangga Dua bukan lagi sekadar perdata biasa. Persoalan ini mencerminkan betapa rapuhnya tata kelola lahan negara, dan betapa mudahnya warga yang beritikad baik terjebak dalam labirin birokrasi yang kemudian berubah menjadi tekanan fisik, intimidasi, dan ancaman penggusuran. Puluhan warga yang telah menempati ruko sejak 1997, mereka dijanjikan SHGB di atas HPL sejak awal proyek berdiri.

Bagaimana mungkin warga yang membayar lunas properti, diperkenankan menempati bangunan lebih dari dua dekade, kemudian diperlakukan seolah-olah mereka pendatang liar yang dipaksa angkat kaki pada 31 Desember 2025?

Karena jika benar lahan tersebut adalah Tanah Negara yang hanya “dipinjamkan untuk digunakan” kepada TNI pada 1996, maka persoalan ini bukan sekadar konflik internal atau bisnis koperasi, tetapi soal keabsahan tindakan institusional yang menyentuh ranah publik.

Perlu ditegaskan bahwa warga adalah pihak yang paling dirugikan, dan bukan karena kesalahan mereka sendiri. Mereka membeli ruko melalui pengembang yang bekerja di bawah payung izin penggunaan tanah oleh TNI. Mereka membayar penuh, mereka menempati, mereka membangun usaha, dan mereka berinvetasi hidup, secara ekonomi, sosial, dan hukum.

Kini, setelah bertahun-tahun, muncul klaim penarikan kembali penggunaan tanah oleh Inkopal. Bukankah itu sama saja dengan “menyandera” hak warga di tengah jalan?

Kuasa hukum warga, Subali, SH, menyatakan dengan jelas bahwa Inkopal bukan institusi negara. Karena itu, langkah mereka menguasai dan mengendalikan penggunaan lahan seharusnya diperiksa ulang.

Jika benar ada transaksi yang dialirkan ke rekening pribadi oknum, atau permintaan pembayaran yang tidak melalui mekanisme resmi, maka ini bukan sekadar konflik lahan, ini adalah alarm integritas.

Laporan intimidasi terhadap warga mulai dari ancaman verbal, denda yang “diciptakan”, hingga teror dari orang tak dikenal adalah bukti bagaimana kekuasaan dan jabatan bisa berubah menjadi alat tekanan.

Apalagi ketika warga mengatakan adanya tanah misterius yang disebar di depan ruko mereka, seolah memanfaatkan kepercayaan horor sebagai cara menebarkan rasa takut.

Setiap tindakan intimidasi melanggar prinsip dasar negara hukum: bahwa kekuatan tidak boleh mendahului hukum.

Ketika tekanan psikis dan sosial digunakan untuk memaksa warga mundur, maka konflik ini telah melampaui batas wajar sebuah sengketa administrasi.

Penting untuk digarisbawahi bahwa kasus ini tidak bisa dibiarkan menjadi konflik horizontal antara warga dan struktur koperasi militer.

Karena sejak awal, yang memberikan izin penggunaan tanah adalah institusi negara—TNI. Maka negara wajib hadir, bukan bersembunyi di balik prosedur birokrasi.

Menhan telah dimintai mediasi secara resmi pada sidang pertama PTUN dan melalui surat formal.

Jika sampai hari ini belum ada respons, maka ini menunjukkan lemahnya kesadaran pemerintah dalam menangani konflik agraria bersentuhan dengan institusi berseragam.

Jika negara tidak hadir, maka potensi tindakan sewenang-wenang semakin besar. Warga bisa menjadi korban, dan nama baik institusi TNI bisa tercoreng oleh tindakan oknum atau struktur yang bertindak melebihi mandatnya.

Tanggung jawab moral dan administratif berada di tangan Menhan. Semua berharap pada belum Desember 2025 menjadi titik terangnya.  Saatnya meletakkan ego institusional, duduk bersama dan kembali ke koridor hukum

Warga tidak meminta lebih. Mereka hanya meminta yang dijanjikan yaitu SHGB atau setidaknya perpanjangan HPL sesuai akta.

Pemerintah, TNI, dan Inkopal harus duduk bersama. Bukan untuk menegaskan kekuasaan, tetapi untuk menata kembali kepastian hukum yang menjadi hak setiap warga negara.

Jika negara tidak mampir ke meja mediasi, maka pesan yang tersampaikan kepada publik jelas: hak rakyat miskin hukum tidak bernilai apa-apa dibanding ego institusional.

Sengketa Marinatama adalah cermin retak dari tata kelola lahan negara. Dan jika retakan ini tidak segera diperbaiki, maka akan retak lebih besar dan korbannya selalu sama yaitu warga kecil yang hanya ingin hidup tenang di atas tanah yang mereka beli dan bayar sendiri. (enha/red)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like