IAWNews.com – Di sebuah ruang sidang Pengadilan Negeri Sorong, berlangsung sebuah drama hukum yang, jika tidak menyangkut hajat hidup warga negara, bisa jadi tampak seperti kisah dongeng. Seorang warga negara Malaysia, Paulus George Hung alias Ting-Ting Ho alias Mr. Chi, melalui kuasa hukumnya Albert Fransstio, menggugat kepemilikan tanah di Kecamatan Supraw, Kota Sorong, melawan warga bernama Samuel Hamonangan Sitorus.
Kasus ini, yang tampaknya biasa saja di atas kertas, justru menyimpan absurditas hukum yang memprihatinkan. Seperti dalam kisah satir, dua tokoh fiktif bernama Abunawas dan Abuwaras merepresentasikan para pihak dalam persengketaan ini.
Abunawas tokoh rekaan yang datang dari negeri asing mengklaim sebidang tanah yang ia beli pada 2013 sebagai miliknya, meskipun tanah itu telah dikuasai dan digarap oleh Abuwaras sejak 2009, lengkap dengan dokumen dan riwayat transaksi yang sah. Abuwaras bahkan telah mendirikan pondok dan menempatkan keluarganya di atas lahan tersebut sejak lama.
Namun, alih-alih membawa pembuktian ke meja mediasi, Abunawas justru datang dengan usulan perdamaian yang absurd: membagi dua lahan tersebut, 50:50, seolah-olah status kepemilikan adalah soal kompromi, bukan kebenaran hukum. Anehnya, hakim yang memimpin mediasi tampak senada dengan Abunawas, mendesak jika bukan memaksa Abuwaras untuk menyetujui skema yang jelas-jelas merugikan pihak yang sudah lama menguasai lahan secara sah.
Abuwaras yang waras menolak. Ia meminta agar proses mediasi dibuka dengan memperbandingkan dokumen masing-masing. Namun hakim justru menolak, berdalih bahwa dokumen hanya boleh ditunjukkan di ruang persidangan, dengan satu syarat: hakim harus terlebih dahulu melihat dokumennya. Sungguh mencurigakan, dan tidak sesuai dengan semangat keadilan yang seharusnya menjadi dasar sistem hukum kita.
Peristiwa ini mengingatkan kita pada kisah hikmat Raja Soleman (Nabi Sulaiman), saat dua wanita memperebutkan seorang bayi. Soleman mengusulkan untuk membelah bayi menjadi dua. Respons kedua perempuan itu kemudian membuka kebenaran: yang mencintai anak itu menolak kekerasan dan memilih menyerah demi keselamatan sang bayi. Yang tidak mencintai, justru menerima ‘keadilan semu’ itu dengan suka cita. Soleman pun tahu siapa ibu sejati sang bayi.
Sayangnya, di ruang sidang Sorong ini, tak ada figur seperti Soleman. Yang ada justru sebuah permainan kuasa dan akal-akalan hukum, di mana ‘perdamaian’ dijadikan tameng untuk menyamarkan perampasan hak secara terselubung—dengan tangan lembaga yang seharusnya menjunjung tinggi hukum.
Ketika ruang keadilan dipenuhi suara hakim yang selaras dengan tuntutan sepihak tanpa verifikasi, maka yang terjadi bukan lagi proses hukum, melainkan bentuk baru kolonialisme hukum—di mana kekuasaan dan modal menjadi penentu, bukan kebenaran.
Apa yang sedang terjadi di PN Sorong adalah gejala sistemik dari bobroknya sistem peradilan kita: hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Di negeri ini, terlalu banyak hakim yang kehilangan arah, lebih sibuk mengejar transaksi ketimbang mencari kebenaran. Mereka yang seharusnya menjadi penjaga etika, malah menggadaikan martabatnya pada kekuasaan dan uang.
Kita memang tak bisa menghadirkan Raja Soleman dalam wujud fisik hari ini. Tapi semestinya, semangat beliau untuk berpihak pada kebenaran dan keadilan, dapat hidup dalam setiap hakim, jaksa, dan aparat hukum di negeri ini. Jika itu pun tak lagi mungkin, maka hancurlah sudah harapan rakyat kecil yang mencari keadilan di bawah bayang-bayang palu hakim. (will)