IAWNews.com – Di balik gemerlap industri kreatif dan gencarnya promosi tentang produktivitas generasi muda, sebuah kisah pilu datang dari seorang pekerja muda bernama Sekar Ayunda Gemintang. Perempuan berusia 24 tahun itu diduga menjadi korban eksploitasi kerja di sebuah perusahaan startup bernama PT. ACR Bersatu Sejahtera.
Lewat surat somasi yang dikirimkan kuasa hukum orang tua Sekar kepada Direktur perusahaan, Ibu Lysandra Gisella, terungkap sederet pelanggaran serius yang mengarah pada dugaan tindak pidana ketenagakerjaan. Dalam surat tersebut, Sekar disebut bekerja sebagai Social Media Specialist dengan beban kerja ekstrem: 157 jam per minggu, padahal batas maksimal jam kerja yang diatur Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya 40 jam per minggu.
Namun beban kerja itu bukan satu-satunya kejanggalan. Sekar hanya menerima upah sebesar Rp600.000 per bulan, dengan alasan adanya “potongan untuk pengadaan iPhone kerja.” Angka ini jauh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2025 yang telah ditetapkan sebesar Rp5.396.761. Artinya, Sekar dibayar hampir 90% lebih rendah dari standar yang berlaku.
“Ini bukan lagi pelanggaran administratif, ini kejahatan terhadap kemanusiaan kerja’, tegas kuasa hukum keluarga Sekar dalam keterangan tertulisnya.
Lebih lanjut, perusahaan juga diduga tidak mendaftarkan Sekar ke dalam program jaminan sosial BPJS Kesehatan maupun Ketenagakerjaan, yang seharusnya merupakan kewajiban berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011. Dengan kata lain, Sekar tidak hanya diupah di bawah standar, tetapi juga dilucuti dari hak dasar atas perlindungan sosial.
Ironisnya, alih-alih melakukan pembenahan, PT. ACR Bersatu Sejahtera justru melakukan pemutusan kontrak secara sepihak, tanpa prosedur hukum yang sah. Berdasarkan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan dan ketentuan PP No. 35 Tahun 2021, pemutusan hubungan kerja semacam itu mewajibkan perusahaan membayar ganti rugi dan hak-hak lain yang melekat pada karyawan. Dalam kasus Sekar, estimasi kerugian yang harus ditanggung perusahaan disebut mencapai lebih dari Rp129 juta.
Kasus ini mengundang perhatian luas, terlebih karena mencerminkan masalah struktural yang kerap dialami para pekerja muda di sektor industri digital dan kreatif. Istilah “magang,” “probation,” atau “kontrak sementara” kerap digunakan untuk menghindari kewajiban ketenagakerjaan, menjadikan pekerja muda rentan terhadap eksploitasi yang bersembunyi di balik jargon inovasi dan fleksibilitas kerja.
Hingga berita ini diturunkan, pihak PT. ACR Bersatu Sejahtera belum memberikan tanggapan resmi atas somasi tersebut. Sementara itu, keluarga Sekar berharap pemerintah, khususnya Dinas Ketenagakerjaan DKI Jakarta dan aparat penegak hukum, segera turun tangan untuk menindaklanjuti kasus ini.
“Jangan sampai generasi muda terus menjadi korban dari sistem ketenagakerjaan yang timpang dan tak berpihak. Sudah waktunya hukum ditegakkan bukan hanya sebagai formalitas, tetapi sebagai pelindung hak-hak pekerja”, kata kuasa hukum Sekar.
Kasus Sekar menjadi pengingat pahit bahwa di balik semangat wirausaha dan semangat kerja keras, masih banyak pekerja muda yang berjuang dalam senyap tanpa perlindungan, tanpa keadilan. (tim/red)