IAWNews.com – Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama Pemerintah untuk menghapus larangan publikasi atau siaran langsung dalam persidangan pidana melalui Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) disambut luas sebagai langkah maju bagi demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, menyatakan dukungan penuh atas penghapusan pasal tersebut. Menurutnya, langkah ini memperkuat prinsip transparansi informasi publik dan menjadi bagian integral dalam upaya menjaga proses peradilan yang adil dan terbuka.
“Bagus! Kita tentu sangat mendukung kebijakan penghapusan setiap ketentuan dan peraturan yang berpotensi menghambat transparansi. Jurnalis harus bebas meliput dan menyiarkan jalannya sidang sebagai bagian dari kontrol publik”, tegas Wilson Lalengke, yang juga alumni PPRA 48 Lemhannas RI Tahun 2012, Sabtu (12/07/2025).
Langkah penting ini diputuskan dalam rapat Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR RI yang berlangsung di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta pada Rabu (09/07/2025). Rapat tersebut dipimpin oleh Ketua Komisi III, Habiburokhman, dan dihadiri oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej.
Pasal 253 ayat (3) dan (4) dalam draf RUU KUHAP yang sebelumnya memuat larangan publikasi live resmi dicabut. Pemerintah dan DPR menyepakati bahwa ketentuan serupa sudah termuat dalam KUHP baru, sehingga tidak perlu lagi diatur ulang dalam KUHAP.
“Terkait peliputan, itu tidak perlu diatur detail di KUHAP. Karena ini termasuk norma hukum materiil dan pengaturannya bersifat teknis, yang sudah ada dalam kesepahaman antara pers dan Mahkamah Agung”, kata Habiburokhman dalam rapat.
Wamenkumham Eddy Hiariej mengamini hal tersebut dan menegaskan bahwa pengaturan tentang peliputan sidang sudah cukup melalui ketentuan yang ada di KUHP.
Dengan penghapusan larangan ini, publikasi dan siaran langsung dari ruang persidangan kini dimungkinkan, dengan tetap mematuhi ketentuan etika jurnalistik dan tata tertib pengadilan. Komisi III menekankan pentingnya fleksibilitas teknis, khususnya jika terdapat bagian sidang yang bersifat tertutup atau sensitif, di mana pengadilan dapat memberikan pengumuman agar tidak disiarkan secara langsung.
Keputusan ini disambut hangat oleh komunitas jurnalis dan aktivis kebebasan sipil. Mereka menilai hal ini sebagai sinyal positif bahwa Indonesia masih berkomitmen pada semangat reformasi dan keterbukaan informasi publik.
Wilson Lalengke mengingatkan bahwa media memiliki peran strategis dalam menjaga akuntabilitas sistem peradilan.
“Jika ruang pers dibatasi, maka ruang gelap akan semakin luas. Justru dengan adanya siaran langsung, publik bisa menilai sendiri proses peradilan secara objektif. Inilah wujud demokrasi yang sehat”, imbuh Wilson Lalengke.
Penghapusan pasal larangan publikasi live dari RUU KUHAP tidak sekadar revisi teks hukum, melainkan simbol dari pergeseran paradigma hukum ke arah yang lebih transparan dan demokratis. Ruang sidang bukan lagi milik eksklusif elite hukum, melainkan panggung publik yang wajib terbuka bagi pengawasan rakyat.
Dengan peliputan yang terbuka, masyarakat dapat ikut memantau proses hukum secara langsung, memperkuat kepercayaan terhadap lembaga peradilan, dan mendorong penegakan hukum yang akuntabel di tanah air. (tim/red)