IAWNews.com – Rangkaian bencana alam yang melanda Pulau Sumatera dalam beberapa pekan terakhir dinilai bukan lagi sekadar musibah musiman. Banjir bandang, longsor, serta arus air bah yang menyeret ribuan kayu gelondongan secara bersamaan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mengindikasikan adanya krisis lingkungan serius yang berkelindan dengan persoalan hukum dan tata kelola sumber daya alam.
Skala kerusakan yang ditimbulkan begitu masif hingga peristiwa ini disebut sebagai salah satu tragedi ekologis terbesar sepanjang sejarah Indonesia pascakemerdekaan. Hutan-hutan di kawasan hulu yang seharusnya menjadi benteng alami penahan air dan tanah tampak tak lagi mampu menjalankan fungsinya. Hilangnya tutupan vegetasi membuat tanah rapuh, memicu longsor, dan memperbesar daya rusak banjir bandang.
Fenomena air bah yang membawa material kayu gelondongan menjadi penanda kuat dugaan kerusakan lingkungan sistematis. Desa-desa tersapu, jembatan runtuh, sungai tersumbat, dan ribuan warga kehilangan tempat tinggal hanya dalam hitungan jam. Dari sudut pandang hukum lingkungan, kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar terkait pengawasan, penegakan hukum kehutanan, serta tanggung jawab negara dalam menjaga ekosistem.

Dampak bencana tidak berhenti di tiga provinsi tersebut. Gelombang kerusakan ekologis menjalar hingga Nias dan Lampung. Ekosistem sungai rusak, kualitas air menurun drastis,
dan habitat flora-fauna terancam punah. Pulau Sumatera yang dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia kini berada dalam tekanan ekologis yang mengkhawatirkan.
Efek domino juga dirasakan secara sosial dan ekonomi. Distribusi logistik terganggu, harga kebutuhan pokok melonjak, aktivitas ekonomi tersendat, dan rasa aman masyarakat terguncang. Situasi ini memperlihatkan bahwa kerusakan lingkungan bukan hanya isu ekologis, tetapi juga persoalan hukum, keadilan sosial, dan stabilitas nasional.
Melihat kompleksitas tersebut, Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) mengambil langkah tegas dengan menyatakan bencana di Sumatera sebagai Bencana Nasional Luar Biasa. PPWI menilai penanganan tidak boleh menunggu proses administratif semata, mengingat dampaknya telah melampaui batas wilayah dan berimplikasi nasional.
Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, bersama Sekretaris Jenderal Fachrul Razi, serta didukung jajaran pengurus dan dewan pakar organisasi tersebut. Menurut Wilson, deklarasi ini merupakan langkah strategis untuk mempercepat mobilisasi bantuan dan mendorong perhatian internasional.
PPWI telah menyurati sejumlah kedutaan besar negara sahabat guna menggalang dukungan kemanusiaan, tenaga ahli, hingga bantuan teknis. Langkah ini juga akan diperluas dengan pengiriman surat resmi ke berbagai badan internasional yang memiliki mandat di bidang kebencanaan, lingkungan hidup, dan kemanusiaan. PPWI menilai kondisi darurat di Sumatera membutuhkan intervensi global agar pemulihan tidak berjalan lambat dan meninggalkan dampak jangka panjang.
Dari perspektif hukum lingkungan, PPWI menekankan pentingnya pemulihan berbasis keadilan ekologis. Rehabilitasi hutan, normalisasi sungai, serta penguatan sistem mitigasi bencana harus dilakukan secara terencana, transparan, dan berkelanjutan. Bencana ini dipandang sebagai peringatan keras bahwa eksploitasi alam tanpa kendali dan lemahnya penegakan hukum lingkungan akan selalu berujung pada tragedi kemanusiaan.
Pada akhirnya, PPWI menyerukan agar pemerintah dan komunitas internasional segera bergotong royong membantu masyarakat terdampak. Solidaritas kemanusiaan dan penegakan hukum lingkungan harus berjalan beriringan. Tragedi Sumatera menjadi pengingat bahwa ketika alam terluka, seluruh umat manusia ikut menanggung akibatnya dan kini saatnya bertindak sebelum semuanya terlambat. (tim/red)

