IAWNews.com – Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, mengungkapkan dugaan keterlibatan Kepolisian Resorts (Polres) Blora, Jawa Tengah, dalam jaringan mafia Bahan Bakar Minyak (BBM) ilegal jenis solar. Dugaan itu mencuat setelah penangkapan tiga wartawan asal Jawa Tengah, termasuk Denok, yang dituduh melakukan pemerasan terhadap Rico, seorang oknum anggota TNI yang diduga kuat terlibat dalam penimbunan dan penyaluran BBM bersubsidi secara ilegal.
Dalam pernyataannya kepada jejaring media nasional, Sabtu (31/5/2025), Wilson Lalengke menilai penanganan kasus ini oleh Polres Blora sangat janggal. “Polres Blora sudah mengetahui bahwa Rico tengah diproses di Unit Polisi Militer Kodam Diponegoro karena laporan masyarakat terkait pelanggaran UU Migas. Namun anehnya, yang justru diproses secara pidana adalah para wartawan”, kata alumni Lemhannas RI PPRA-48 tahun 2012.
Menurut Wilson Lalengke, jika uang diberikan oleh Rico kepada para wartawan dengan maksud menghapus berita, maka seharusnya hal itu dikategorikan sebagai suap, bukan pemerasan. “Proses hukum yang dilakukan Polres Blora menyimpang dari logika hukum yang benar, dan justru memperkuat dugaan bahwa aparat turut bermain dalam praktik ilegal ini”, tambahnya.
Wilson Lalengke menegaskan, oknum anggota TNI bernama Rico diduga melanggar tiga undang-undang sekaligus, yakni:
- UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,
- UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan
- UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Tindakan Rico yang diduga menyuap wartawan untuk menghapus berita, menurut Wilson, juga telah melanggar Pasal 18 ayat (1) UU Pers, yang mengancam pidana penjara paling lama dua tahun atau denda maksimal Rp500 juta terhadap siapa pun yang menghalangi kerja jurnalistik.
Tautan berita yang dimaksud, yang disebut-sebut diminta dihapus oleh Rico, adalah: Heboh! Dugaan Mafia BBM Subsidi Libatkan Oknum Anggota TNI Korem di Kabupaten Blora.
Wilson Lalengke juga menyoroti bahwa jika pun ada kesalahan dari wartawan, seharusnya hal itu diproses melalui mekanisme kode etik jurnalistik. “Pelanggaran seperti ini menjadi ranah Dewan Pers atau organisasi pers masing-masing, bukan langsung dikriminalisasi. Apalagi fakta menunjukkan berita sudah tayang sebelum uang diberikan”, ujarnya.
Wilson Lalengke menegaskan bahwa transaksi yang terjadi bisa dikategorikan sebagai “transaksi profesional-gelap”, yang meski tak dibenarkan secara etik, tidak serta-merta memenuhi unsur pemerasan sebagaimana dijerat oleh Polres Blora.
Mengakhiri pernyataannya, Wilson Lalengke meminta atensi serius dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar bertindak adil dan menegakkan hukum secara menyeluruh. Ia berharap, di penghujung masa jabatannya, Kapolri dapat memberikan warisan berharga bagi dunia pers.
“Didik dan binalah jajaran Kepolisian agar tidak terjebak dalam kolaborasi jahat dengan para pelaku kriminal yang merugikan negara”, Pungkas Wilson Lalengke, yang juga merupakan lulusan program pasca sarjana Etika Terapan dari Universitas Utrecht (Belanda) dan Universitas Linkoping (Swedia). (tim/red)