Categories Nasional

Konflik Pemalangan Adat di Sorong, PT Pertamina Dockyard Mandek Operasi Sejak 2024

IAWNews.com – Aktivitas pemeliharaan dan perbaikan kapal di PT Pertamina Marine Engineer Dockyard (Dokarim) di Sorong, Papua Barat Daya, telah terhenti total sejak 01 September 2024. Penyebabnya bukan karena kerusakan teknis, melainkan buntut dari konflik lahan yang melibatkan masyarakat adat dan pihak perusahaan.

Sejak pertengahan tahun lalu, PT Pertamina Marine Engineer Dockyard dilarang beroperasi di atas lahan tempat mereka berdiri oleh Ketua Perhimpunan Pemberdayaan Hak Ulayat Keret Kalami Klakalus, Herkanus Denatius Kalami. Dalam surat yang mereka terima, perusahaan diminta membayar kompensasi adat sebesar Rp 5 miliar paling lambat 01 September 2024. Jika tidak dipenuhi, masyarakat adat mengancam akan melakukan Pemalangan Adat.

“Bilamana permintaan mereka tidak diindahkan atau dipenuhi, maka pihaknya mengancam akan mengadakan Pemalangan Adat secara sepihak,” ujar Mukhlis, salah satu staf perusahaan, saat ditemui pada Selasa (29/07/2025).

Ancaman tersebut kemudian ditegaskan oleh Herkanus. Jika pemalangan sudah terjadi dan PT Pertamina ingin membuka palang tanpa persetujuan, perusahaan harus membayar sepuluh kali lipat dari permintaan awal. “Tidak ada negosiasi. Jika palang dibuka paksa, bayar sepuluh kali lipat”, katanya.

Lebih lanjut, PT Pertamina Marine Engineer Dockyard dilaporkan menerima Surat Pemalangan tertanggal 15 Maret 2025 dari pihak yang mengklaim sebagai pemilik lahan atas nama empat marga. Namun, dokumen ini masih dalam proses pengkajian internal perusahaan, memperpanjang ketidakpastian.

Koordinator Forum Papua sekaligus karyawan perusahaan, Gowi Reyn Yenusi, menyoroti kejanggalan dalam surat-surat yang masuk. Ia mempertanyakan legalitas dan motif di balik konflik yang justru membuat ratusan karyawan lokal mayoritas Putra Asli Papua terkatung-katung nasibnya.

“Dokarim itu bukan hanya tempat kerja, tapi juga sumber hidup bagi banyak keluarga. Biaya hidup tinggi, harga kebutuhan pokok mahal, dan pendidikan anak-anak kami jadi terancam”, kata Gowi Reyn Yenusi dengan mata berkaca-kaca.

Menurut Gowi Reyn Yenusi, bukan hanya karyawan yang menanggung beban, tetapi juga rakyat Indonesia. “Ini BUMN, perusahaan milik negara. Kalau terus merugi karena konflik ini, rakyat juga yang dirugikan”, katanya.

Hal senada disampaikan oleh Ketua Aliansi Masyarakat Adat Papua, Adrianus Wanma. Ia mempertanyakan lambannya penyelesaian persoalan yang telah berlangsung hampir setahun. “Apakah ini bentuk pembiaran? Mengapa seolah tak ada keseriusan menyelesaikan masalah ini?”, tegasnya.

Pantauan di lapangan menunjukkan kondisi area Dokarim kini nyaris tak beroperasi. Aktivitas perbaikan kapal berhenti, para pekerja tampak resah, dan suasana muram menyelimuti kawasan yang dulunya sibuk itu.

Para karyawan juga mengaku sering menerima ancaman jika tetap beraktivitas di area tersebut. Bahkan, disebutkan bahwa konflik ini bisa memicu kekerasan apabila terus berlanjut tanpa penyelesaian.

“Semoga ini bukan strategi perusahaan untuk secara halus merumahkan kami”, ujar salah satu karyawan yang enggan disebutkan namanya.

PT Pertamina Marine Engineer Dockyard merupakan salah satu fasilitas pemeliharaan kapal terbesar di kawasan timur Indonesia. Dokarim yang berada di Jl. Tuna No. 1, Sorong, dikenal melayani kapal dari berbagai wilayah, termasuk kapal internasional. Keberadaan fasilitas ini bukan hanya strategis, tapi juga membanggakan bagi warga lokal.

Kini, harapan tertuju kepada PT Pertamina dan Pemerintah Pusat untuk segera turun tangan menyelesaikan konflik ini secara adil dan bermartabat. “Jangan biarkan kami terus digantung. Rakyat dan pekerja butuh kejelasan”, pungkas Gowi Reyn Yenusi. (tim/red)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like