IAWNews.com – Upaya mengenalkan kekayaan ekowisata dan program konservasi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) semakin gencar dilakukan. Pada 08–09 Juli 2025 lalu, Balai TNUK menggelar media trip ke dua lokasi utama: The Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) dan Pulau Peucang, Kabupaten Pandeglang. Tak kurang dari puluhan awak media dari berbagai platform, cetak, online, hingga radio turut serta menjelajahi sisi alami Ujung Kulon yang jarang tersorot.
Kegiatan ini menjadi momen penting bagi publikasi program pelestarian Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) sekaligus promosi destinasi wisata alam yang berkelanjutan. Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, turut hadir bersama jajaran pengurus nasional dan daerah, menjadikan kegiatan ini ruang sinergi antara konservasi, pariwisata, dan media.
Rombongan disambut hangat di ruang rapat JRSCA oleh Kepala Seksi Pengelola TNUK Wilayah II, Azis Abdul Latif Muslim. Dalam pemaparannya, Azis mengungkapkan rencana translokasi Badak Jawa ke zona dekat JRSCA, yang akan menjadi lokasi pengembangbiakan baru. “Langkah ini menjadi strategi jangka panjang untuk menyelamatkan spesies langka ini dari risiko kepunahan”, jelasnya.
Sementara itu, Dedi Juherdi, Kepala Seksi Pengelola Wilayah I TNUK Tamanjaya, menegaskan bahwa media trip juga menjadi ajang edukasi publik akan pentingnya menjaga biodiversitas dan memberdayakan masyarakat lokal. “Ekowisata bukan hanya soal menikmati alam, tapi tentang bagaimana kita belajar dari dan menjaga alam”, tegasnya.
TNUK bukan hanya rumah bagi Badak Jawa. Tiga pulau utama Panaitan, Peucang, dan Handeuleum yang menawarkan pengalaman ekowisata dan eduwisata yang berbeda-beda. Pulau Panaitan, misalnya, adalah surga bagi peselancar dunia. Ombaknya yang tinggi dan panjang menjadikannya salah satu spot surfing terbaik di Asia bahkan dunia.
“Peselancar mancanegara rutin datang ke Panaitan. Kami berharap peselancar lokal juga bisa lebih menjajal potensi ini”, ujar Dedi Juherdi.
Berbeda dari Panaitan yang menggoda adrenalin, Pulau Peucang dan Handeuleum menyajikan ketenangan dalam balutan hutan tropis dan satwa liar. Di Pulau Peucang, wisatawan bisa bertemu langsung rusa, monyet, babi hutan, hingga biawak, serta menikmati keunikan ratusan spesies burung. Akomodasi juga telah disiapkan dengan konsep villa kelompok, cocok untuk keluarga maupun rombongan kecil.
Salah satu daya tarik utama Pulau Peucang adalah Pohon Kiara raksasa, yang berusia ratusan tahun. “Kalau belum berfoto di cabang Pohon Kiara yang bisa dipeluk 30 orang, artinya Anda belum benar-benar ke Ujung Kulon”, kata Dedi Juherdi berseloroh.
Wilson Lalengke mengakui bahwa kunjungan ini membuka matanya tentang potensi wisata alam Ujung Kulon. “Selama ini, Ujung Kulon identik dengan Badak Jawa. Saya tidak menyangka ternyata ada surga wisata yang sangat layak diperkenalkan secara lebih luas”, ujarnya.
Wilson Lalengke mendorong agar kegiatan media trip seperti ini dilakukan secara rutin. Menurutnya, kerja sama antara pengelola kawasan konservasi dengan komunitas media adalah kunci agar destinasi ekowisata dikenal dan dihargai publik.
Lebih jauh, Wilson Lalengke menyarankan agar staf dan pengelola taman nasional seperti TNUK mulai membekali diri dengan kemampuan jurnalistik dasar. “Siapa pun bisa menjadi pewarta warga. Dengan smartphone, mereka bisa mendokumentasikan kegiatan, membuat berita, hingga memproduksi konten video pendek. Ini langkah strategis agar promosi bisa terus berjalan tanpa ketergantungan penuh pada media eksternal”, pungkasnya.
Media trip ini bukan sekadar jalan-jalan. Ini menjadi jembatan penting antara konservasi dan publik. Di balik hutan lebat dan ombak tinggi, Ujung Kulon menyimpan kisah perjuangan menjaga spesies langka, sekaligus peluang ekonomi dan edukasi bagi masyarakat.
Dengan pendekatan yang inklusif, ekowisata di Ujung Kulon tak hanya menghibur, tapi juga mencerdaskan dan menginspirasi. (tim/red)