IAWNews.com – Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI), Hence Grontson Mandagi, menyoroti tajam proses pemilihan Anggota Dewan Pers periode 2025–2028 yang dinilainya cacat hukum dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ia menyayangkan keterlibatan dua tokoh nasional—Dr. H. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat yang selama ini dikenal sebagai figur inspiratif dan berintegritas tinggi, dalam proses yang disebutnya sarat rekayasa.
“Ketokohan Pak Busyro dan Pak Komaruddin sangat dihormati oleh masyarakat Indonesia. Kapasitas, kompetensi, dan integritas mereka tidak diragukan. Namun, ketika mereka ikut serta dalam proses pemilihan yang menyakiti hati insan pers dan bertentangan dengan semangat UU Pers, hal ini justru bisa mencoreng reputasi mereka”, kata Hence Grontson Mandagi dalam keterangan tertulis di Jakarta.
Ditekankan oleh Hence Grontson Mandagi bahwa kedua tokoh tersebut semestinya mencermati dan mengkaji ulang mekanisme pemilihan yang berlangsung. Ia menyarankan agar keduanya mempertimbangkan untuk mundur atau mendesak perbaikan mekanisme yang mengembalikan kewenangan penuh kepada organisasi-organisasi pers yang sah secara hukum.

Menurut Hence Grontson Mandagi, proses seleksi yang dijalankan Dewan Pers saat ini dilakukan secara sepihak melalui pembentukan Badan Pekerja tanpa keterlibatan langsung organisasi wartawan dan perusahaan pers sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat 3 UU Pers.
“Faktanya, Dewan Pers telah mengambil alih kewenangan organisasi pers, padahal jelas dalam UU bahwa pemilihan anggota Dewan Pers merupakan hak organisasi pers yang berbadan hukum, bukan segelintir elit dalam konstituen Dewan Pers”, jelas Hence Grontson Mandagi.
Ditambahkan oleh Hence Grontson Mandagi, kondisi ini memperparah marjinalisasi terhadap media lokal dan wartawan independen, sekaligus memperkuat dominasi konglomerasi media nasional. Mandagi menuding Dewan Pers justru melegalkan praktik ‘pelacuran pers’ melalui kerjasama media dengan pemerintah tanpa tender dan pengawasan publik.
“Kritik terhadap pejabat akan dibungkam dengan cara memutus kontrak media. Fungsi pengawasan pers hilang, idealisme dijual, dan media lokal dibiarkan mengemis iklan ke pemerintah, sementara media besar menikmati ratusan triliun rupiah dari belanja iklan nasional”, tegas Hence Grontson Mandagi.
SPRI pun telah mengirim surat resmi kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, untuk menunda pengesahan hasil pemilihan Dewan Pers periode 2025–2028. Mereka menilai, keputusan presiden yang telah diterbitkan sebaiknya dikaji ulang demi menjaga marwah kemerdekaan pers nasional.
“Konstituen Dewan Pers hari ini adalah cermin dari elitisme yang mengkhianati semangat reformasi pers 1999 dan semangat pembentukan Dewan Pers tahun 2000. Sudah saatnya kita kembalikan pers kepada pemilik sejatinya—organisasi pers dan wartawan yang berjuang di lapangan”, pungkas Hence Grontson Mandagi. (gonz)