IAWNews.com – Persoalan warisan di Indonesia masih menjadi sumber konflik yang kerap memecah belah hubungan keluarga. Lebih dari sekadar urusan harta, kasus warisan menyentuh ranah emosi, dinamika keluarga, hingga trauma masa lalu yang selama ini terpendam.
Dalam praktiknya, sengketa warisan bukan hal langka. Tak jarang, konflik yang bermula dari ketidaksepakatan soal pembagian harta harus berakhir di meja hijau. Para ahli menyebut, sumber utama persoalan ini sering kali bermula dari ketidaktahuan masyarakat terhadap sistem hukum waris yang berlaku. Padahal, Indonesia menganut tiga sistem hukum waris sekaligus: hukum Islam, hukum perdata, dan hukum adat masing-masing dengan prinsip dan tata cara yang berbeda.

“Ironisnya, banyak pemilik harta yang menunda perencanaan warisan karena merasa tabu membicarakan kematian. Padahal, inilah kunci utama mencegah konflik”, kata Alex A. Putra seorang advokat pemerhati masalah mawaris.
Tak sedikit pula sengketa muncul akibat wasiat yang dinilai tidak adil atau bahkan cacat hukum. Dalam hukum Islam, misalnya, wasiat tidak boleh melebihi sepertiga dari total harta warisan dan tidak boleh diberikan kepada ahli waris yang sudah mendapatkan bagian sah, kecuali disepakati seluruh ahli waris. Di sisi lain, hukum perdata memberikan kebebasan lebih luas kepada pewaris, namun tetap mensyaratkan pemberian bagian mutlak atau legitime portie kepada ahli waris sah.
Faktor emosi turut memperkeruh suasana. Rasa iri, kecemburuan, dan luka lama yang tak terselesaikan kerap kali muncul kembali dalam proses pembagian warisan. Banyak ahli waris merasa tidak dilibatkan atau dianggap sebelah mata, sehingga urusan yang seharusnya administratif berubah menjadi konflik pribadi yang berkepanjangan.
Untuk itu, para pakar mengingatkan pentingnya membuka ruang diskusi soal warisan sejak dini, secara sehat dan terbuka. Perencanaan waris baik lewat surat wasiat, hibah, maupun penunjukan ahli waris secara legal perlu melibatkan pihak profesional seperti notaris, advokat, serta tokoh agama atau adat.
“Hukum waris seharusnya menjadi jembatan keadilan, bukan pemicu perpecahan. Kuncinya adalah edukasi, transparansi, dan komunikasi yang jujur antar anggota keluarga”, tegas Alex A. Putra.
Dengan demikian, warisan tak hanya diwariskan sebagai harta semata, melainkan juga sebagai simbol keharmonisan, keadilan, dan nilai kekeluargaan yang abadi. (aap)